Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email

TENGGER, UNIKNYA BROMO, DAN KITA

Jumat, 30 Agustus 2013 | 2 komentar



"Dalam setiap perjalanan ada kisah yang berbeda. Aku dan kamu pasti beda cerita, meskipun keindahan berpijak di tempat yang sama. Aku selalu mengenangnya  seperti edelwise yang tak akan lekang oleh waktu"


Tengger, sebuah  nama untuk suku yang bermukim di sekitar kaki gunung Bromo, diambil dari nama 2 orang yaitu Roro Anteng dan Joko Seger. Dari sinilah kisah berawal.

Roro Anteng dan Joko seger bertemu di sebuah desa di kaki pegunungan yang nyaris mesih sepi penghuninya, mereka jatuh cinta kemudian menikah. Waktu telah berjalan lama, tetapi mereka belum dikaruniai keturunan. Mereka pun berdoa kepada Dewa yang diyakini sebagai penjaga desa itu. Dewa pun mendengar permintaan mereka dan akan memenuhinya asal mereka pun menyanggupi syarat yang diberikan dewa. Demi memperoleh keturunan mereka pun menyetujui syarat tersebut, yaitu harus mempersembahkan salah satu dari anak mereka.

Roro Anteng dan Joko Seger pun beroleh keturunan dan mereka sangat menyayangi anak-anak mereka sehingga tidak rela bila harus ada yang dikorbankan. Dewa mengetahui hal itu sehingga sangat murka. Kawah di gunung Bromo bergejolak dan bisa membahayakan desa itu. Akhirnya anak terakhir mereka mau dipersembahkan kepada Dewa dengan pesan sepeninggalnya harus mempersembahkan ternak, hasil bumi untuk dilemparkan ke kawah Bromo untuk menjaga keamanan dan ketentraman desa.

Setelah itu desa pun aman, Roro Anteng, Joko Seger serta anak-anaknya hidup dengan damai, sampai memperoleh keturunan yang beregenerasi. Dan kini mereka dikenal dengan suku Tengger, suku yang mendiami wilayah sekitar gunung Bromo. Mereka hidup dengan mengemban amanah para leluhur, upacara Kesada terus diselenggarakan tiap tahunnya yaitu dengan melarung hasil ternak dan hasil bumi ke dalam kawah Gunung Bromo sebagai rasa syukur serta untuk menjaga keamanan dan ketentaraman desa.

Sore itu, perjalanan kami berhenti di Cemoro Lawang - Desa Ngadas, setelah menempuh perjalanan dari Surabaya dengan mobil yang kami sewa. Mas Adi dengan senyumnya yang ramah menyambut kedatangan kami di desa terakhir sebelum kami berpetualang di Gunung Bromo. Mas Adi ini adalah generasi kesekian dari Roro Anteng dan Joko Seger. Saya tertarik akan sarung yang Mas Adi kenakan, sangat khas dalam motif dan penggunaannya diselempangkan. Inilah kekhasan dari suku Tengger, fungsinya antara lain sebagai pengganti jaket untuk menghalau dinginnya udara Bromo, yang suhunya dingin, kalau malam bisa mencapai 2 derajat celcius.

Dan kisah kami pun dimulai dari sini, dari Tengger untuk menuju puncak kemuliaan.


Bromo sebuah Magnet
Bromo disebut juga dengan tempat kemuliaan, karena di puncak gunung itulah dipercaya bersemayam Dewa Brahma yang menjadi kepercayaan suku Tengger. Nama Bromo pun katanya diambil dari nama Dewa tersebut, Brahma.

Gunung Bromo memang eksotis. Bangganya ada sebuah buku yang menjadi pijakan para traveler seluruh dunia, yaitu Lonely Planet memasukkan Gunung Bromo sebagai salah satu dari gunung api tereksotis di dunia, karena memang banyak hal yang eksotis disini. Jadi tidak heran jika Bromo menjadi magnet para wisatawan mancanegara untuk berkunjung kesini. Dan kami pun sudah tertarik oleh magnet itu.


Bukit Mentigen dan Keindahan Mentari Terbit yang Mendunia

Ada beberapa  spot terbaik untuk menikmati keindahan Matahari Bromo; Gunung (bukit) Pananjakan 1, Gunung Pananjakan 2 (Oh ya Bromo memang dikelilingi rangkaian pegunungan/bukit) atau di atas Gunung Bromonya sendiri. Namun kami punya tempat sendiri , tentunya atas saran Mas Adi yang lebih mengetahui tempat ini, untuk menyaksikan mentari terbit di Bukit Mentigen.

Bukit Mentigen ini tidak begitu terkenal oleh para turis, tapi kenapa kami kesini, alasan Mas Adi adalah karena ini bulan Oktober dan matahari selalu berevolusi, jadi kemungkinan saat matahari terbit tidak terlihat jelas dari pananjakan 1 maupun 2. Tidak mau kecewa karena tidak melihat keindahan mentari yang memesona, kamipun setuju usul Mas Adi. Selain itu untuk ke Bukit Mentigen kita tidak harus sewa Jeep karena jaraknya yang dekat dengan penginapan, jadi bisa menghemat uang untuk sewa jeep (itu penting kan)

Brrrrr, meskipun kedinginan tapi inilah yang tersaji di depan mata. Bukit ini memang sepi dari turis, tapi mungkin maksudnya turis Indonesia, karena kebanyakan mereka mungkin memilih ke Pananjakan1 atau 2. Tapi disini ternyata 80 % adalah turis mancanegara, berasa di luar negeri jadinya. Tuh kan orang luar aja bela-belain untuk kesini, sekedar melihat mentari, eh tidak sekedar mentari sih, tapi mentari dan lembayungnya yang sangat indah dengan momen saat detik-detik matahari terbit yang tidak akan terlupakan.


80% turis asing
matahari ini sudah sangat terkenal sampai manca negara
kita dan matahari





Berpetualang di Pasir Berbisik
“Ayo turun!” Begitu perintah Mas Adi pada kami yang masih asik foto-foto.

Matahari memang mulai meninggi dan saatnya menuruni Bukit Mentigen untuk menuju puncak Bromo. Ada banyak pilihan untuk menuju tempat terakhir sebelum menanjak ke puncak gunung, dengan menggunakan jeep yang harga sewanya berkisar antara 300 ribu-400 ribu, naik kuda dengan sewa 50 ribu-100 ribu dan inilah cara kami untuk kesana yaitu tetap jalan kaki, eng ing eng.


naik kuda hanya 10 ribu
Murah kan, berminat? bisa kontak saya :). Eit tapi kuda ini disewa hanya untuk keperluan narsis foto. Bapak pemilik kuda mengiyakan saja ketika kami bilang mau berfoto dengan kudanya. Berenam bergantian menaiki kuda dan foto. Tidak tega untuk tidak memberikan apa-apa pada si Bapak, kami pun memberikan uang 10 ribu untuk 6 kali foto.

Dengan Mas Adi yang menjadi penunjuk arah segalanya menjadi lebih mudah, seru, dan menantang. Dan sekarang kami harus menuruni bukit Mentigen yang lumayan curam, karena kemiringannya dan tidak ada pijakan dan pegangan, semuanya hampir hamparan pasir, ditambah kami ke tempat ini beberapa bulan setelah Gunung Bromo mengalami Erupsi.

Beberapa kali saya terjatuh, menuruni bukit berpasir memang tidak mudah.

“Turun pakai tumit!,” teriak Mas Adi yang sudah sampai di bawah. Sesaat saya mikir tumit itu yang mana. Dan kembali saya terjatuh sampai akhirnya saya berada di bawah.

Baru saya ‘ngeh’ kalau tumit itu di pangkal telapak kaki saat sudah sampai, fungsinya untuk mengerem pergerakan kaki yang meluncur di pasir agar tidak terjatuh. 
seperti inilah kami menuruni Bukit Mentigen

pasir berbisik
mas Adi sedang menjelaskan apa yang ada di depan mata









Gunung Batok juga punya kisahnya sendiri


Menurut legenda, gunung ini ada hubunganya juga dengan Roro Anteng, ibu dari suku Tengger. Karena kecantikannya Roro Anteng ditaksir oleh raksasa, namun karena Roro Anteng sudah lebih dahulu mencintai Joko Seger, maka Roro Anteng mengajukan syarat untuk dibuatkan laut di tengah gunung dalam waktu satu malam. Raksaksa setuju dan menggali dengan bantuan batok. Namun dengan segala kecerdikannya Roro Anteng berusaha mencegah agar pekerjaan raksasa agar tidak selesai dengan membuat ayam jantan berkokok. Dan hasilnya Raksasa mengira bahwa hari sudah pagi. Raksasa marah karena tidak berhasil dan menendang Batok hingga jatuhnya tertelungkup, sehingga menjadi gunung Batok ini. Mirip nggak ya, mau percaya atau tidak namanya juga legenda yang beredar di Tengger.

Kalau itu kan legenda, namun ilmiahnya dan menurut penelitian, banyaknya gunung di Pegunungan Tengger adalah karena himpitan dua gunung besar yang ada sebelum pegunungan ini, yang kemudian mengalami letusan besar yang mengakibatkan terbentuknya kaldera, kemudian bermunculan gunung-gunung baru karena aktivitas magma yang berkelanjutan.

Gunung Beranak Tangga





Akhirnya kami pun sampai pada keramaian, sudah terlihat Gunung Bromo yang tingginya 2.329 diatas permukaan laut. Kok kelihatannya pendek ya? Karena ketinggian itu dihitung dari permukaan laut, sedangkan tempat kami berpijak saat ini saja sudah tinggi.

"Ayo hitung berapa anak tangganya?" kata Mas Adi.

"Ini gunung yang aneh tidak akan pernah ada yang menyebutkan sama berapa jumlah anak tangganya. Ada yang bilang 251, 252, 253, 254, 255. Kalau kamu naik dua kali juga tidak akan sama hitungan anak tangganya," lanjut Mas Adi lagi dengan senyum-senyum.

Penasaran dengan kata-kata Mas Adi, kami pun masing-masing menghitung, dan hasilnya adalah, lupa menghitung, karena penuhnya gunung Bromo saat itu.

Salah satu keunikan Gunung Bromo adalah adanya anak tangga ini, dibuat untuk memudahkan dilaksanakannya upacara Kesada.

Eksotisnya Kawah Bromo
kawahnya aman, sedang tidak bergejolak
Ke dalam inilah suku Tengger melarung hasil buminya pada upacara Kesada, persembahan pada Dewa dengan maksud agar desa Tengger selalu aman dan damai.

Sampai diatas sini, Mas Adi berpesan, agar kita jangan bicara yang aneh-aneh. Karena setiap perkataan pasti dikabulkan. Jadi bicara yang baik-baik saja disini.

Satu-satunya Pura di Padang Pasir yang ada di Dunia






Sepertinya ia deh, ini adalah satu-satunya Pura yang ada di Padang Pasir, karena Gurun Sahara yang terluas di dunia saja tidak terdapat pura di atasnya :).  Satu hal lagi yang membuat Bromo unik. 


Pura ini bernama Pura Luhur Poten dibangun baru pada tahun 2000. Tidak hanya masyarakat Tengger yang beribadah disini, terutama ketika upacara Kesada. Waktu saya dekat sana ada warga Bali pun yang tengah beribadah disini.

Kisah Kita
Inilah kisah kita, termasuk kamu juga nggak ya, hehe. Ini adalah kisah saya dan lima orang teman. Kami berasal dari berbagai daerah berbeda, kenalan lewat dunia maya demi untuk melihat unik dan eksotisnya Bromo. Hanya berbekal nomor telepon, tanpa ada foto karena di facebook banyak yang PP nya bukan foto pribadi, akhirnya kami bertemu dengan suasana yang hangat, eh awalnya membingungkan saat harus mengenali satu sama lain. Kemudian mencair, berpetualang bersama, dan membuat kisah bersama.

Terkadang yang selalu dikenang dalam sebuah perjalanan adalah bukan hanya keindahannya, tapi dengan siapa kita bepergian dan menikmatinya, dan bagaimana cara kita memaknainya. Mungkin kalau saya boleh membuat mitos sendiri, datanglah ke Gunung Bromo, maka kamu akan menemukan persahabatan disani.

Inilah kisah kami, tapi kamu pun bisa membuat kisah sendiri disini, di keindahan Bromo, keindahan Indonesia. Karena kita cinta Bromo dan cinta Indonesia.

Semeru pun terlihat di kejauhan diantara pegunungan Tengger. Kami pun berjanji untuk kembali bersama mengarunginya, atap tertinggi di Pulau Jawa.

janji ya kita ke semeru bareng
kami ditambah Mas Adi dan driver  yang seru abis
Keindahan yang patut dikenang untuk kalian; Era (cepu), Susi (Lampung), Jhontiz (Magelang), Syamsudin (Surabaya), Ilham (Semarang), dan saya (Jakarta)

Selalu merindukan kalian!


MALAM DI SURAMADU, ROMANTIS ATAU NEKAAAADZ



Waktu  itu bulan melengkung sempurna, bulan di awal bulan Oktober, bintang pun penuh di langit malam. Rasanya pemandangan seperti itu akan membuat suasana menjadi romantis. Harusnya, tapi tidak untuk kami berdua,  saya dan seorang teman, dua orang cewek maniez :P.

Malam itu kami berdua tengah berada di kaki jembatan Suramadu, jembatan di atas selat Madura, terpanjang di Indonesia (5.438 m) yang menghubungkan antara kota Bangkalan, Pulau Madura dan Surabaya (Pulau Jawa). Kami akan kembali menuju Surabaya dengan perasaan yang mulai ketakutan.

Masih jam setengah delapan  malam, tapi rasanya sudah tengah malam, benar-benar tidak pernah kami duga. Jangan membandingkan kota besar dengan kota kecil. Di Jakarta jam 8 malam masih gegap gempita, sorak-sorai bergembira, jalanan masih padat merayap.

Eh, tadi saya bilang mulai ketakutan ya, sebenanrnya ketakutan kami sudah mulai sebelum ini, saat selesai menunaikan sholat Maghrib di Masjid Agung Bangkalan, Madura.  Banyak jamaah yang bertanya-tanya melihat ransel besar yang kami bawa, dari mana, tujuan mau ke mana. Dan kami pun jawab bahwa tujuan mau kembali lagi ke Surabaya melalui jembatan Suramadu. 

Perkataan selanjutnya mengejutkan kami, bahwa  bus ke Surabaya yang melewati jembatan Suramadu terakhir pukul 7 malam. Ditambah dengan pernyataan yang diucapkan dengan logat Madura, “ Kok berani sampean cuma berdua, tidak ada saudara disini, hati-hati saja di dekat Suramadu ada banyak  kejahatan, bisa rampok, bisa pemerkosa.”

Duiiiing.

Saya dan Susi cuma bisa pandang-pandangan. Ngeri juga ya kata-kata di belakangnya itu, pemerkosa. Ini trip pertama saya juga Susi, baru juga sampai Madura,  jangan sampai berakhir tragis. Tapi saya rasa ibu-ibu ini serius, karena memandangi saya dengan khawatir.

“Menginap saja malam ini,” Ibu itu menawarkan. Hanya saja besok kami sudah punya jadwal, pagi-pagi sekali kami akan bertolak dari Surabaya (rumah teman) menuju Probolinggo dan terakhir akan ke Gunung Bromo. Saya pun menceritakan jadwal saya tersebut.

“Ya cepat berangkat, nanti kehabisan bis, colt pun sudah jarang kalau sudah malam. Kalian ini nekad.”

Duinggg.

“Hati-hati di jalan,” suara mereka menghantarkan kepergian kami. Masjid Agung Bangkalan dan jamaahnya yang hangat.

Dan benar saja keluar dari masjid jalanan sudah sepi. Toko-toko Batik Madura yang berjejer di sekitar Masjid sudah tutup, Gelap. Tempat makan pun sudah tidak ada. Wah sudah tidak terpikir lagi makan, yang terpikir hanya bagaimana bisa sampai jembatan Suramadu dan selamat sampai Surabaya.

Lumayan lama kami menunggu colt, sebutan untuk angkutan di Madura.  Sepertinya cuma kami berdua yang ada di jalan saat itu. Sempat terpikir apa kami tidak usah kembali ke Surabaya melalui Suramadu, mengingat perkataan ibu-ibu tadi. Lebih baik kembali ke Surabaya dengan naik kapal fery seperti yang kami lakukan tadi. Kami menimbang-nimbang, dan keputusannya adalah colt pertama yang datang, mau yang ke Suramadu atau ke Pelabuhan Kamal, itulah yang akan kami naiki, takdir kami ada di tangan colt.

Akhirnya datang juga colt yang ke arah kiri, itu berarti menuju jembatan Suramadu. Kami pun sedikit lega dan langsung masuk ke dalam. Sudah beberapa menit jalan kami menanyakan apakah colt ini akan menuju jembatan Suramadu, dan jawabannya tidak karena sudah malam.

Duuuuuuh, ada –ada saja perjalanan kami ini. Kami pun bertanya-tanya pada supir mengenai kemungkinan angkutan bisa membawa kami ke Surabaya hingga satu-persatu penumpang turun dan akhirnya tinggal kami berdua dan pak supir. Deggg, jalanan pun mulai gelap.

Entah apa yang saya rasakan dirasakan pula oleh Susi yang pasti kami berpandang-pandangan. Perasaan saya mulai macam-macam karena tinggal kami berdua dan pak supir.

Tiba-tiba Pak Supir menawarkan untuk mengantarkan kami menuju Suramadu. Kami kembali berpandangan. Lanjut Pak Supir, nanti kami tinggal menambah ongkosnya saja. Mendengar kalimat Pak Supir, saya sih berkesimpulan Pak Supir ini baik, kalau berniat jahat untuk apa meminta ongkos lagi, kan bisa saja dia mengeluarkan kata-kata manis kemudian tas kami dirampas.

Kami pun mengiyakan tawaran Pak Supir dengan senang hati. Di sepanjang perjalanan kami pun mengobrol, yang banyak bertanya adalah si Bapak tentang beraninya kami bepergian hanya berdua dan perempuan pula. " Kalian berdua nekad, tidak takut pergi berdua." katanya dengan logat Madura.

Lagi-lagi kalimat nekad yang terucapkan. Entahlah sebenarnya ini nekad atau bukan namun sudah banyak yang mengucapkan kalimat ini mulai dari kaki kami menjejak di Surabaya dan bertambah banyak ketika sampai di Madura. Saya juga tidak menyangka karena masih di Pulau Jawa, tapi ternyata perjalanan kami lumayan beresiko. 

Saya jelaskan pada pak Supir kalau kami dari Surabaya, mau jalan-jalan di Madura dan merasakan jembatan Suramadu terpanjang di Indonesia yang indah di waktu malam. Namun
yang sebenarnya, kami ini bukan berasal dari Surabaya. Saya dari Jakarta dan Susi dari Lampung. Tujuan utama mau ke Gunung Bromo, meeting point dengan teman-teman lain di Surabaya jam 4 pagi, karena tidak mungkin sampai sepagi  itu dari Jakarta, maka kami memutuskan untuk sampai Surabaya sehari sebelumnya. Beruntungnya kami dapat tiket promo kereta eksekutif yang hari biasa seharga 300 ribu, kami dapatkan hanya seharga 100 ribu.

Di Surabaya, kami keliling hanya berdua, karena mau merasakan yang namanya backpacker seperti apa, merancang perjalanan sendiri tanpa agent travel, tanya sana-tanya sini. Karena baru pertama kali menginjakan kaki di Surabaya dan tidak banyak browsing internet sebelum ke Surabaya, yang ada di daftar hanyalah ke Masjid Ampel, House of Sampurna dan bisa ikut tour kotanya, dan terakhir menyeberang ke Pulau Madura. Semua berjalan lancar dengan bantuan orang-orang yang kami temui di jalan, mulai pejalan kaki, supir-supir angkot, sampai Pak Polisi, sampai-sampai disangka kami turis dari Malaysia. Dan satu yang selalu saya ikuti adalah nasihat seorang ibu di masjid Ampel, bahwa kami jangan bilang dari Jakarta, mungkin karena konotasi orang Jakarta pasti banyak uang dan nanti akan mengundang banyak orang untuk berbuat jahat, maka selama perjalanan sampai Madura, jika ada yang bertanya kami bilang dari Surabaya. Entah mereka percaya atau tidak, karena kok orang Surabaya tidak ada yang bisa bahasa Jawa. Kalau ditanya hanya  ketawa-ketawa saja. Nekad

Akhirnya sampai juga kami di Jembatan Suramadu. Terima kasih sekali pada pak Supir.
Sepeninggal Pak Supir, kami tingal berdua, meskipun bulan sabit indah, tapi tidak menambah penerangan sama sekali. Tiba-tiba saya merasa ingin sekali buang air kecil. Di belakang saya ada sebuah gubuk, tapi gelap sekali. Di pikiran saya bukan lagi ada pocong, kuntilanak, genderuwo, bahkan suster ngesot. Yang ada di pikiran hanyalah pemerkosa seperti yang dibilang ibu-ibu tadi. Tidak henti-hentinya saya berdoa dari tadi.


gelapnya Suramadu, kamera cuma bisa menangkap ini

Tiba-tiba ada motor yang melintas dan berhenti di depan kami. Ketakutan pun menyerang  sehingga kami agak saling merapat. Untunglah setelah penumpang itu turun, kami meyakini bahwa mereka bukan orang jahat melainkan sepasang suami istri yang akan kembali ke Surabaya. Kembali mereka yang bertanya kemana tujuan kami dan kenapa cuma berdua, perempuan lagi. Kami terus berbincang sampai akhirnya ibu itu pun mengeluarkan makanan. Tidak niat meminta cuma bertanya buah apa yang dimakan, namun ibiui itu bersikeras untk memberikan sekantong plastik buah yang bernama Siwalan atau buah lontar. Jujur kami memang lapar, trakhir makan ya sarapan tadi pagi di stasiun pasar turi.

Sampai akhirnya ibu dan bapak itu pergi kami pun ditinggal sendiri. Lama bus tidak datang, yang lewat kebanyakan mobil pribadi ataupun truk. “Apa kita numpang truk aja ya,” usulku, daripada ketakutan disini.

“Jangan, pesannya kita jangan menumpang apapun yang berplat nomor hitam, bahaya.” kata teman mengingatkan pesan teman dari Surabaya yang selalu memantau keberadaan kita.

Namun terlambat tangan saya sudah seperti memberhentikan truk yang kebetulan lewat. Saya kira truk tersebut acuh namun nyatanya truk itu berhenti kurang lebih lima meter di depan, dan penumpangnya pun memanggil kami. Langsung saja kami pura-pura melihat ke arah lain, sampai truk itu pun pergi.

Akhirnya bus yang ditunggu pun datang, setelah meyakini bahwa tujuannya adalah Surabaya, kami pun naik. Saya menyiapkan ongkos 3 ribu rupiah sesuai petunjuk teman Surabaya, namun yang diminta adalah 30 ribu untuk 2 orang. Wow.

Selama perjalanan kami pun Nekad, ngotot- ngototan ongkos dengan kenek bis sampai akhirnya spot yang paling bagus untuk mengambil foto di jembatan Suramadu lewat di depan mata, dan kamera saya masih di dalam tas. Saya pun mengela nafas panjang dan menahannya kembali sampai keindahan itu hilang begitu saja di depan mata.

Harusnya kan malam ini kita santai sambil menikmati indahnya jembatan Suramadu. Kami pun hanya bisa tertawa-tawa. Sampai akhirnya bus ini berhenti di terminal bungur asih. Akhirnya kami tiba di Surabaya dengan selamat.

Penasaran dengan tarif bus, saya bertanya pada  seorang ibu berapa tarif yang beliau bayarkan Jawabannya adalah 25 ribu, kembali kami berpandang-panfangan. Dalam hati awas saja kalau ketemu dengan teman baru yang dari Surabaya itu. Gara-gara info tarif bus 3 ribu kami adu otot dengan kenek bus dan tidak bisa menikmati indahnya Suramadu di waktu malam, padahal kan itu tujuan kami nekad-nekad kemari

Entahlah ini romantis atau nekad, tapi terkadang sesuatunya datang tanpa diprediksi, kita harus berpijak dengan adat masyarakat setempat.
Dan saya hanya ingin berjalan, berjalan, dan mengambil hikmah dari setiap perjalanan untuk menjadikan diri lebih baik lagi.



air di Masjid Sunan Ampel yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit, lumayan irit beli air

nyebrang dengan fery nyaman, hanya 15 menit, ongkos Rp 3.700,-
disangka turis dari Malaysia
Masjid Agung Bangkalan yang hangat
ketawa-tawa dengan ibu ini di Masjid Agung Bangkalan. Baru dikasih tahu kalau ibu ini agak gila

supir yang baik, sempat juga antar kami belanja batik. Nekad



http://telkomsel.com/nekadtraveler

http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=gOapKcqdcGM
 
Copyright © -2012 Alamat Senja All Rights Reserved | Template Design by Favorite Blogger Templates | Blogger Tips and Tricks