Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email

Dan Soe Hok Gie pun Berbicara Tentang Senja

Kamis, 28 Februari 2013 | 0 komentar

Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu.
Aku datang kembali ke ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu.

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna.
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan.
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu, seperti kau terima daku.

Aku cinta padamu,Pangrango yang dingin dan sepi.
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada.
Hutanmu adalah misteri segala cintamu.
Dan cintaku adalah kebisuan semesta.

Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi.
Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua.

“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar.
Terimalah dan hadapilah.”

Dan antara ransel-ransel yang kosong dan api unggun yang membara, aku terima semua itu.
Melampaui batas-batas hutanmu.
Melampaui batas-batas jurangmu.
Aku cinta padamu Pangrango.
Karena aku cinta pada keberanian hidup.




Cave Tubing Kalisuci, Exploring Perut Bumi

Selasa, 12 Februari 2013 | 4 komentar

Apa pula itu cave tubing. Dalam Istilah per-adventuran, cave/caving adalah menyusuri goa, dan tubing, hapir sama dengan rafting yaitu menyusuri sungai tapi tidak beramai-ramai melainkan sendirian, dengan alat bantu ban dalam. Jadi cave tubing adalah menyusuri goa yang terdapat aliran sungai bawah tanahnya dengan menggunakan ban dalam.


Adalah sebuah goa yang bernama Kalisuci yang terletak di Desa Pacarejo Kecamatan Semanu sekitar 7 kilometer ke arah Timur kota Wonosari. Disebut Kalisuci karena terdapat mata air di sebelah atas sungai yang juga bernama Kalisuci. Di goa inilah kita bisa melakukan cave tubing.


Lumayan siang kami (teman-teman baru dari Jakarta, Bandung, Bogor, Lampung, Surabaya) sampai di desa Pacarejo tersebut, rumah-rumah sederhana khas yogja pun memberikan penyambutan. Tumpukan ban dalam mewarnai pandangan saya selanjutnya. Agak ngeri juga sih membayangkan menyusuri sungai bawah tanah dan sendirian pula, rafting aja yang satu perahu bisa diisi berempat saja lumayan takut awalnya, apalagi ini.
Dengan membawa ban dalam tersebut sendiri-sendiri, kami pun berjalan menuju goa Kalisuci tersebut, begitu melihat aliran air di bawah kami, langsug timbul hasrat untuk meloncat. Sebenarnya tidak pernah ada acara terjun bebas dulu ke dalam air, tapi karena melihat antusias kami maka guidenya pun mempersilahkan dengan sebelumnya mencoba dulu, apakah di bawah sana aman untuk kami terjun dari atas. Setelah dipastikan aman, terjunlah satu persatu. Ketinggiannya sih lebih pendek hanya 3 meter, tapi masih bisa membuat dengkul saya ngilu untuk meloncat.
Semuanya sudah masuk ke dalam air, saatnyalah kami menelusuri sungai di dalam perut bumi ini. Kami pun masuk ke dalam goa, gelap menyelimuti kami, hanya dibantu penerangan dari senter guide nya. Ada stalagtit dan stalagmite yang terbentuk, rasanya saya butuh peneliti dari discover chanel untuk memberitahu bagaimana pemandangan ini bisa terbentuk dengan analisa ilmiahnya, bisa jadi ilmu pengetahuan baru. Sayangnya tidak ada, guidenya pun sibuk menjaga kami agar tetap dalam satu barisan. 




Ban dalam yang saya naiki melaju dengan tenang mengikuti aliran sungai yang memang tenang, saya baru tahu kenapa kita bisa sendirian menyusri arus sungai ini, karena alirannya tenang jadi aman. Ketika sampai pada sebuah tebing masih di dalam goa, kami dipersilahkan untuk menaiki tebing itu kalau mau, lho kenapa tidak mau pasti seru. Dan memang benar seru, gaya deh sok pemanjat tebin, turunnya kami pun meloncat lagi ke dalam air, sangat menguji nyali.





Sekitar 1 jam lebih, kami tiba di penghujung goa, matahari tampak lagi dengan senyumannya. Penyusuran goa sepanjang 500 m selesai (lebih panjang dari goa pindul) . Tapi tidak selesai petualangannya sampai sini, karena kita harus mencapai daratan lagi dengan memanjat tanah yang kemiringannya lumayan, jadi ingat komentar rombongan yang sebelumnya, “ Tubingnya sih tidak sulit, tapi yang sulit itu ketika harus mencapai daratan kembali.”

Hosh..hosh… hosh.

Kalau ada yang ingin ke tempat wisata ini bisa membuat janji di kalisucicavetubing.blogspot.com

Note: Agak lumayan mengganggu kesenangan ketika akan keluar dari areal kalisuci, ada seorang ibu yang meminta biaya parker dengan sedikit memaksa dan marah-marah, yang kemudian kami berikan Rp 20ribu.

Foto: Koleksi Syamsuddin


Di antara Gua Glatikan dan Gelung terdapat batu gajah yang besar. Tepat di depannya terdapat kali pemisah yang lebar dan dalam

A DAY IN PARIS (Van Java)

Senin, 04 Februari 2013 | 9 komentar


12 Februari 2012, Untuk pertama kalinya ke kota ini. Menikmati setiap langkah perjalanan


Berbekal tiket KA Eksekutif Argo Parahyangan yang saya dapatkan seharga 20 ribu rupiah ( seharusnya kan 70 ribu), maka di Minggu pagi itu saya sudah nangkring di stasiun Gambir sambil wifi an.

Tepat jam 09.35 , sesuai dengan jam keberangkatan di tiket, kereta pun berangkat. Tidak perlu menunggu sampai disana, wisata saya pun dimulai dari sekarang, karena menurut informasi pemandangan di luar KA Parahyangan sungguh memesona. Nanti kita akan berada diatas jembatan Cibisoro Saya sudah tidak sabar menantikan kereta lewat situ.

Dan ketika kereta lewat jembatan, rasanya seperti apa? Biasa aja sih, he he tidak seperti naik halilintar di Dufan, hanya saja kereta jalannya diperlambat, dan pemandangan sungai Citarum di bawah jembatan luar biasa.

Jam 12 kurang saya sampai di stasiun Bandung. Lho katanya mau ke Paris, kok sampainya di Bandung. Hello, mana ada juga ke Paris pakai kereta, kalau dari Jerman sih bisa J . Terus apa hubungannya Bandung dan Paris, memang ada menara Eifel di Paris????? 
Jawabannya mau tau aja apa mau tau banget, hehehe. Justru itu yang mau saya tahu tentang paris van Java ini.
Keluar stasiun, sudah banyak travel-travel yang menawarkan untuk mengantarkan ke tempat-tempat wisata yang ada di Bandung.

“Kebun Strawbery , teh?”

“Situ Patengang, teh?”

Semuanya saya tolak, karena satu hari ini saya mau keliling Bandung ala saya sendiri. Ini pertama kalinya saya akan jalan-jalan ke Bandung (dulu ke Bandung karena studek kampus dan nggak kemana-mana). Katanya tempat yang paling dekat dari stasiun adalah daerah yang bernama Braga, cukup naik angkot. Tapi katanya lagi naik angkot ribet , maka saya putuskan untuk jalan kaki saja.

Dari stasiun belok kanan GRAAAK….

Pasang kamera dan mulai gaya, sok motret sana-sini, yang penting nggak mati gaya masalahnya saya sendirian (solo traveling ceritanya) jadi harus dinikmati sendiri dong. Bangunan yang pertama saya dapati adalah toko oleh-oleh  khas Bandung, Kartika Sari. Nah yang mau beli oleh-oleh ternyata nggak jauh tuh dari stasiun, pokoknya Cuma ngelewatin 1 pengkolan ( duuh saya nggak pintar ngukur jalan pakai meter, misalnya 20 meter, 100 meter)

Seru juga sih belagak foto sana-sini, sampai-sampai tukang mi ayam gerobak yang saya lewati minta foto. Ayo gaya Pak, padahal ini kamera nggak ada baterainya, wkw kwkw bercanda. Terus si bapaknya pakai teriak lagi. “ Mbak nanti di kirim di facebook ya……”
Tepok Jidat.

Lanjut jalan lagi, dari jauh sudah terdengar azan zuhur. Pas, tepat di depan saya ada masjid. Lebih enak kan nanti keliling Bandung kalau sudah sholat. Banyak juga ya orang yang menuju masjid, terutama laki-laki, dan mereka tuh ngeliatin saya. Jadi GR.

Masuk pelataran masjid yang cukup besar, suasana bertambah ramai. Tapi itu dia kok kebanyakan laki-laki. Jadi curiga, jangan-jangan ini masjid khusus laki-laki (memang ada kan). Dan dari pengeras suara yang tiba-tiba berbunyi membuat saya sadar, kalau ini hari Jumat, dan saatnya sholat Jumat.

Pantas kok banyak yang ngeliatin saya. Saya jadi bisa membaca pikiran mereka sekarang.” Memangnya teteh mau ikutan sholat jumat juga?”. Duh karena ini hari libur nasional saya jadi lupa, Jumat saya kira Minggu. Untung belum masuk ke masjidnya.

Nggak jauh dari masjid Jami itu, di seberang jalannya ada spanduk besar-besar yang berisi info bahwa ada pameran foto di gedung Indonesia Mengugugat. Gedung yang dimaksud tepat di samping spanduk itu. Pas nih ada pameran foto. Masuk ah. Eh tapi tiba-tiba ragu sendiri karena liat nama gedungnya. Kok menggugat Indonesia ya, apa yang digugat. Masuk… Nggak…. Masuk….Ngak…Masuk….Ngak (hitung sampai 100 kali) dan akhirnya saya putuskan untuk meneruskan perjalanan saja. Kan tujuan saya Braga.




Dan Taraaaaa.. saya sampai juga di Jl. Braga. Tapi kok belum terlihat bangunan-bangunan klasiknya dan sepi. Yang ada di depan saya adalah Bangunan Museum Bank Indonesia. Ooo disini toh museum BI. Dulu pernah nanya-nanya dimana museum BI Bandung karena ada workshop disini, tapi akhirnya nggak datang.


Miris deh liat papan nama jalan yang saya nggak bisa apa-apain, tiba-tiba jadi ingat geng rempong, papan nama kayak gini sih udah jadi sasaran foto narsis (sisi nggak enaknya solo traveling).

Saya terus jalan, dan sampailah di Braga dengan bangunan-bangunan dan toko klasik. Bangunan yang sudah ada sejak jaman Belanda, ada yang masih dipertahankan bentuk aslinya dan ada pula yang sudah mengalami renovasi. Dan dari sinilah julukan Paris Van Java untuk Bandung muncul. Daerah ini menjadi tempat tinggal para londo jaman dulu karena memang cuacanya yang sejuk. Dan di sepanjang jalan Braga ini banyak toko-toko fashion yang sangat diminati warga Belanda seperti di Paris (memang mereka mengambilnya di paris). Kini Banyak toko-toko yang berubah menjadi café, meskipun café-café asli jadul pun masih ada.

Lihat café jadi lapar. Beberapa café banyak dipenuhi Bule, dan memang dari tadi saya melihat banyak bule. Jl. Braga ini memang jadi tempat nostalgia orang bule, terutama Belanda karena sejarahnya itu. Jadi bingung mau makan dimana, malah yang ada dipikiran mau banget makan Hokben * hadeh di Jakarta juga banyak, cari yang khas dong.

Mau makan di café, nggak enak sendirian, mending nanti bareng sama teman-teman bandung yang rencananya mau datang.  Putar-putar nggak karuan, akhirnya masuk warung tenda yang judulnya ayam tepung, haduh tepok jidat tapi sudah terlanjur duduk, yang beginian sih di Jakarta juga banyak. Sudahlah yang penting ganjal perut dulu wiskul bisa nanti. Mmmmm mmm ternyata sambalnya enak lho, jadi nggak nyesel deh, pakai acara nambah sambel. (shiny). Buat rekomendasi aja sih tempat makan yang sambelnya enak ini ada di jalan masuk sebelah Bebek garang. Hehe

Habis makan mati gaya, masalahnya sudah nggak ada bangunan-bangunan unik lagi dan mulai bingung mau kemana, apalagi cuaca rada-rada menampakan akan turun hujan. Nunggu teman aja deh dari Bandung, awalnya mau dijemput di stasiun, tapi saya usul di Braga saja karena mau merasakan jalan-jalan sendiri dulu.

Akhirnya  teman pun datang, ketawa-tawa lihat saya yang jalan sendirian mati gaya. Nah beginilah yang namanya solo traveling harus kuat gaya hehehe, rajin-rajin nanya, dan nggak malu kenalan biar ada temen di perjalanan. Tapi sumpah itu mengasyikan.

“Udah ke gedung tempat konfrensi Asia afrika?” tanya kang Dani. Nah itu dia yang mau saya datangi, tempat bersejarah yang jadi cikal bakal pembentukan ASEAN dan Cuma saya lihat di buku sejarah saja.

Ternyata nggak jauh ke gedung itu, tinggal lanjut menyusuri jalan Braga. Ooo saya pikir sudah tidak apa-apa lagi sehabis perempatan jalan Braga. Tidak tahunya di ujung Jl. Braga adalah Jl. Asia Afrika, jalan yang dinamakan based on sejarah yang ada.
Di ujung kanan Jl. Asia Afrika saya nelihat gedung jadul yang pelatarannya terdapat banyak tiang. Mungkin ini tiang untuk bendera berbagai Negara. Namun benderanya sedang tidak dipasang. Gedung Merdeka. Saya membaca nama gedung itu. Yup inilah tempat yang menjadi saksi bisu terjadinya konferensi Asia Afrika. Hayo masih ingat nggak Negara mana aja dan siapa para wakil negaranya.

Hebat ya di tahun 19… Paris Van Java sudah jadi tuan rumah. Sekarang Gedung Merdeka difungsikan sebagai museum. Sebelum digunakan sebagai tempat konferensu, gedung ini adalah tempat berkumpulnya muda-mudi Belanda untuk gaul.

Sayangnya Gedung Merdeka ini ditutup karena ini hari besar nasional, jadi nggak bisa lihat-lihat ke dalam isinya apa. Namun di Pelataran banyak orang yang berfoto-foto, iya sih karena tempatnya unik.

Saya diajak kesebelah kiri gedung menyeberangi jalan. Mau tahu nggak ini adalah titik 0 km Bandung. Saya rasa belum tentu orang Jakarta yang sering ke Bandung tahu dimana 0 km Bandung. Jangankan Bandung 0 km Jakarta aja nggak tahu. Sama saya juga nggak tahu.
Ternyata tempat ini bersejarah, jalan ini masuk dalam jalan Anyer-Panarukan yang dibangun Deandels.


Di depan titik 0 km adalah Hotel Savoy Hodman, hotel tertua di Bandung. Banyak tokoh terkenal yang menginap disini, termasuk menjadi tempat menginap Favori Presiden Soekarno jika ke bandung. Kepala Negara konfrensi Asia Afrika pun menginap di sini. Bahkan Charlie Chaplin pun katanya pernah menginap disini. Udah tua banget kan, mengingat Charlie Chaplin kan bintang film hitam putih nan bisu. Nanti ya menginao disini, sekarang judulnya kan Cuma seharian di kota ini.

Ke kanan lagi, sebelah gedung Merdeka adalah alun-alun Bandung yang satu komplek dengan Masjid Agung Bandung. Ini yang tidak boleh dilewatkan jika berkunjung ke satu kota.
Duuuh katanya Cuma seharian, tapi tulisannya panjang baget sih, habis saya ke tempat yang penuh sejarah sih jadi lumayan banyak momen di dalamnya.

Bersambung ahhh

Selanjutnya bisa nggak ya saya ke Gedung Sate, lalu ke Jl. Dago surganya factory outlet n kuliner. Terus ke saung angklung Mang Ujo
 
Copyright © -2012 Alamat Senja All Rights Reserved | Template Design by Favorite Blogger Templates | Blogger Tips and Tricks