Suatu siang di suatu hari saya berpayung ria dengan teman saya mengitari Ciliwung di Jatinegara. Serasa Noni-noni Belanda yang berpayung sambil menikmati angsa yang berenang anggun di atasnya. Tapi saya bukan noni-noni Belanda, saya pribumi asli yang sedang kepanasan, membandingkan Ciliwung Dulu dan Sekarang.
Pernah membayangkan minum air dari sungai Ciliwung?
Huek….huek….
Pernah membayangkan minum air dari sungai Ciliwung?
Huek….huek….
Jangan membayangkan sungai Ciliwung di masa sekarang , hitam, penuh sampah. Tapi pernah tidak membayangkan ada air yang bersih di sungai Ciliwung, kita bisa menyiduk airnya langsung untuk diminum, atau kita bisa berperahu dengan santai diatasnya seperti yang terlihat di Venezia.
Mimpi kali……..
Untuk sekarang itu memang hanya mimpi. Tapi tidak untuk beberapa abad silam.
Membaca tentang cerita tempo dulu, disebutkan sekitar abad 15-16 Ciliwung merupakan sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, dibangun secara artistik mengalir di tengah kota. Bebas, tidak berlumpur,dan tenang.
Menurut cerita itu, Ciliwung mampu menampung 10 kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda kelapa. Banyak kapten kapal tersebut singgah untuk mengambil airnya yang segar untuk diisikan ke botol dan guci mereka. Para noni-noni Belanda juga senang berpiknik di tepian sungai itu sambil menikmati angsa-angsa yang hidup bebas di atas sungai Ciliwung.
Menurut cerita itu, Ciliwung mampu menampung 10 kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda kelapa. Banyak kapten kapal tersebut singgah untuk mengambil airnya yang segar untuk diisikan ke botol dan guci mereka. Para noni-noni Belanda juga senang berpiknik di tepian sungai itu sambil menikmati angsa-angsa yang hidup bebas di atas sungai Ciliwung.
Berkat sungai ciliwung yang bersih, Batavia (nama Jakarta pada masa itu) mendapat julukan ‘Ratu dari Timur’, dari para pendatang asing karena keindahannya dan tidak kalah dengan Venezia.
Hmmm saya jadi membayangkan......
Terbayang kan betapa indahnya Ciliwung pada masa itu, hampir tidak percaya memang kalau Ciliwung yang sering saya lihat kalau melewati daerah Jatinegara pernah menjadi primadona pada saat itu.
Sekarang yang saya lihat dari Ciliwung adalah sebuah sungai kecil dengan pemandangan rumah-rumah kecil bahkan bisa dibilang kumuh di kiri dan kanannya. Kalau sedang surut airnya, terlihat lumpur hitam dan sampah yang menggunung terutama sampah plastik. Kalau sedang turun hujan terlihat airnya yang berwarna keruh juga bercampur dengan sampah.
Kini Ciliwung menjadi salah satu kambing hitam terjadinya banjir di Jakarta karena Intensitas curah hujan yang tinggi tapi sungainya tidak mampu menampung air karena terjadinya pendangkalan sungai.
Kok bisa sih sungai yang dulunya indah, berair jernih menjadi kotor seperti sekarang. Bahkan sekarang mendapat julukan ‘tempat pembuangan sampah dan tinja terpanjang di dunia’. Sungguh ironis.
Banyak faktor yang membuat pencemaran di sungai Ciliwung. Beberapa sumber mengatakan penyebabnya dikarenakan meletusnya Gunung Salak pada tahun 1699. Bencana tersebut menyebabkan iklim Batavia menjadi buruk, parit-parit tercemar, termasuk Ciliwung.
Ada yang mengatakan penyebabnya adalah arus urbanisasi yang besar dari berbagai daerah ke daerah Jakarta. Para urban tersebut kemudian bermukim di Jakarta bahkan juga menempati bantaran sungai Ciliwung dan terlihat sampai sekarang. Mereka melakukan aktivitas MCK di sungai Ciliwung, bahkan membuang sampah pun tidak hanya dilakukan oleh warga yang tinggal di bantaran sungai tersebut, tapi ada warga lain yang benar-benar secara sengaja membuang sampah ke sungai tersebut.
Dan lagi-lagi perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan menjadi sebab.Tapi saya sepakat dan memang begitulah kenyataanya. Sedikit demi sedikit kemudian sampah-sampah itu menjadi bukit sampah di dalam Ciliwung. Tidak hanya sampah kebutuhan sehari, tapi terkadang ada juga lemari atau tempat tidur yang sudah tidak terpakai mengapung di Ciliwung karena memang sengaja dibuang. Sadar atau tidak sadar membuang sampah, kini sudah menjadikan ciliwung berubah jelek.
Jangankan meminum airnya, berperahu diatasnya juga tidak bisa. Pernah pemerintah membut alternatif untuk mengatasi kemacetan ibukota dengan membangun angkutan air yang melintasi Ciliwung, tapi tidak beroperasi dengan baik karena baling-balingnya selalu tersangkut sampah dari dalam sungai sehingga perahu tidak bisa berjalan.
Pemerintah katanya tengah berbenah lagi untuk mengatasi sampah yang ada di Ciliwung dengan melakukan pengerukan sampah, penertiban rumah-rumah disepanjang bantaran sungai. Apapun itu, selambat apapun itu, tapi jika kita masih suka membuang apapun kedalamnya. Ciliwung tidak akan pernah bersih sampai kapanpun. Dan cerita tentang Ratu dari Timur itu hanya legenda.
Memang sih mengembalikan Ciliwung seperti masa keemasanya dulu adalah hal yang mustahil, ciliwung yang sudah menghitam tidak akan mungkin bisa kembali jernih, apalagi bisa meminum airnya, tapi minimal kita bisa menjaganya agar tidak semakin parah. Sekarang saja kondisinya sudah seperti itu apalagi nanti.
Sekecil apapun pasti akan berpengaruh pada kondisi sungai tersebut. Seperti tidak membuang sampah sembarangan. Klise memang, tapi buktinya masih banyak yang membuang sampah sembarangan secara sadar maupun tidak sadar, meskipun hanya sampah sebungkus permen yang tidak banyak artinya.
Nyatanya, dari satu bungkus sampah itu akan sangat berarti, meskipun kita tidak membuangnya secara langsung kedalam Ciliwung. Bila mengabaikannya akan membuat jutaan ton sampah bungkus permen. Dari jutaan ton itu akan bertambah terus, bisa jadi tidak hanya Ciliwung yang tertutup sampah, tapi juga Jakarta. Dan kalau memperhatikannya kita bisa mengurangi sampah permen sampai jutaan ton dan ikit andil dalam menyelamatkan bumi meskipun kecil, tidak terlihat, dan sepele.
Tidak harus menunggu orang lain, tidak harus menunggu pemerintah. Tapi kita sendiri yang harus memulai, mulai dari saya.
Untuk kita, untuk Jakarta, untuk anak cucu kita, bahkan untuk dunia.
referensi: Jakarta Tempo Doeloe, 1989- Djulianto Susantio
0 komentar:
Posting Komentar