Waktu itu bulan
melengkung sempurna, bulan di awal bulan Oktober, bintang pun penuh di langit
malam. Rasanya pemandangan seperti itu akan membuat suasana menjadi romantis.
Harusnya, tapi tidak untuk kami berdua,
saya dan seorang teman, dua orang cewek maniez :P.
Malam itu kami berdua tengah berada di kaki jembatan
Suramadu, jembatan di atas selat Madura, terpanjang di Indonesia (5.438 m) yang
menghubungkan antara kota Bangkalan, Pulau Madura dan Surabaya (Pulau Jawa). Kami akan kembali
menuju Surabaya dengan perasaan yang mulai ketakutan.
Masih jam setengah delapan malam, tapi rasanya sudah tengah malam,
benar-benar tidak pernah kami duga. Jangan membandingkan kota besar dengan kota
kecil. Di Jakarta jam 8 malam masih gegap gempita, sorak-sorai bergembira,
jalanan masih padat merayap.
Eh, tadi saya bilang mulai ketakutan ya, sebenanrnya
ketakutan kami sudah mulai sebelum ini, saat selesai menunaikan sholat Maghrib di
Masjid Agung Bangkalan, Madura. Banyak
jamaah yang bertanya-tanya melihat ransel besar yang kami bawa, dari mana,
tujuan mau ke mana. Dan kami pun jawab bahwa tujuan mau kembali lagi ke
Surabaya melalui jembatan Suramadu.
Perkataan selanjutnya mengejutkan kami, bahwa bus ke Surabaya yang melewati jembatan Suramadu terakhir pukul 7 malam. Ditambah dengan pernyataan yang diucapkan dengan logat Madura, “ Kok berani sampean cuma berdua, tidak ada saudara disini, hati-hati saja di dekat Suramadu ada banyak kejahatan, bisa rampok, bisa pemerkosa.”
Perkataan selanjutnya mengejutkan kami, bahwa bus ke Surabaya yang melewati jembatan Suramadu terakhir pukul 7 malam. Ditambah dengan pernyataan yang diucapkan dengan logat Madura, “ Kok berani sampean cuma berdua, tidak ada saudara disini, hati-hati saja di dekat Suramadu ada banyak kejahatan, bisa rampok, bisa pemerkosa.”
Duiiiing.
Saya dan Susi cuma bisa pandang-pandangan. Ngeri juga ya kata-kata
di belakangnya itu, pemerkosa. Ini trip pertama saya juga Susi, baru juga
sampai Madura, jangan sampai berakhir
tragis. Tapi saya rasa ibu-ibu ini serius, karena memandangi saya dengan
khawatir.
“Menginap saja malam ini,” Ibu itu menawarkan. Hanya saja
besok kami sudah punya jadwal, pagi-pagi sekali kami akan bertolak dari
Surabaya (rumah teman) menuju Probolinggo dan terakhir akan ke Gunung Bromo.
Saya pun menceritakan jadwal saya tersebut.
“Ya cepat berangkat, nanti kehabisan bis, colt pun sudah
jarang kalau sudah malam. Kalian ini nekad.”
Duinggg.
“Hati-hati di jalan,” suara mereka menghantarkan kepergian
kami. Masjid Agung Bangkalan dan jamaahnya yang hangat.
Dan benar saja keluar dari masjid jalanan sudah sepi.
Toko-toko Batik Madura yang berjejer di sekitar Masjid sudah tutup, Gelap.
Tempat makan pun sudah tidak ada. Wah sudah tidak terpikir lagi makan, yang
terpikir hanya bagaimana bisa sampai jembatan Suramadu dan selamat sampai
Surabaya.
Lumayan lama kami menunggu colt, sebutan untuk angkutan di
Madura. Sepertinya cuma kami berdua yang
ada di jalan saat itu. Sempat terpikir apa kami tidak usah kembali ke Surabaya
melalui Suramadu, mengingat perkataan ibu-ibu tadi. Lebih baik kembali ke
Surabaya dengan naik kapal fery seperti yang kami lakukan tadi. Kami
menimbang-nimbang, dan keputusannya adalah colt pertama yang datang, mau yang
ke Suramadu atau ke Pelabuhan Kamal, itulah yang akan kami naiki, takdir kami
ada di tangan colt.
Akhirnya datang juga colt yang ke arah kiri, itu berarti
menuju jembatan Suramadu. Kami pun sedikit lega dan langsung masuk ke dalam.
Sudah beberapa menit jalan kami menanyakan apakah colt ini akan menuju jembatan
Suramadu, dan jawabannya tidak karena sudah malam.
Duuuuuuh, ada –ada saja perjalanan kami ini. Kami pun
bertanya-tanya pada supir mengenai kemungkinan angkutan bisa membawa kami ke Surabaya hingga satu-persatu penumpang turun dan akhirnya tinggal kami
berdua dan pak supir. Deggg, jalanan pun mulai gelap.
Entah apa yang saya rasakan dirasakan pula oleh Susi yang
pasti kami berpandang-pandangan. Perasaan saya mulai macam-macam karena tinggal
kami berdua dan pak supir.
Tiba-tiba Pak Supir menawarkan untuk mengantarkan kami
menuju Suramadu. Kami kembali berpandangan. Lanjut Pak Supir, nanti kami
tinggal menambah ongkosnya saja. Mendengar kalimat Pak Supir, saya sih
berkesimpulan Pak Supir ini baik, kalau berniat jahat untuk apa meminta
ongkos lagi, kan bisa saja dia mengeluarkan kata-kata manis kemudian tas kami
dirampas.
Kami pun mengiyakan tawaran Pak Supir dengan senang hati. Di
sepanjang perjalanan kami pun mengobrol, yang banyak bertanya adalah si Bapak
tentang beraninya kami bepergian hanya berdua dan perempuan pula. " Kalian berdua nekad, tidak takut pergi berdua." katanya dengan logat Madura.
Lagi-lagi kalimat nekad yang terucapkan. Entahlah sebenarnya ini nekad atau bukan namun sudah banyak yang mengucapkan kalimat ini mulai dari kaki kami menjejak di Surabaya dan bertambah banyak ketika sampai di Madura. Saya juga tidak menyangka karena masih di Pulau Jawa, tapi ternyata perjalanan kami lumayan beresiko.
Saya jelaskan pada pak Supir kalau kami dari Surabaya, mau jalan-jalan di Madura dan merasakan jembatan Suramadu terpanjang di Indonesia yang indah di waktu malam. Namun
Lagi-lagi kalimat nekad yang terucapkan. Entahlah sebenarnya ini nekad atau bukan namun sudah banyak yang mengucapkan kalimat ini mulai dari kaki kami menjejak di Surabaya dan bertambah banyak ketika sampai di Madura. Saya juga tidak menyangka karena masih di Pulau Jawa, tapi ternyata perjalanan kami lumayan beresiko.
Saya jelaskan pada pak Supir kalau kami dari Surabaya, mau jalan-jalan di Madura dan merasakan jembatan Suramadu terpanjang di Indonesia yang indah di waktu malam. Namun
yang sebenarnya, kami ini bukan berasal dari Surabaya. Saya
dari Jakarta dan Susi dari Lampung. Tujuan utama mau ke Gunung Bromo, meeting point dengan teman-teman lain di Surabaya jam 4 pagi, karena tidak mungkin sampai
sepagi itu dari Jakarta, maka kami
memutuskan untuk sampai Surabaya sehari sebelumnya. Beruntungnya kami dapat
tiket promo kereta eksekutif yang hari biasa seharga 300 ribu, kami dapatkan
hanya seharga 100 ribu.
Di Surabaya, kami keliling hanya berdua, karena mau merasakan yang namanya backpacker seperti apa, merancang perjalanan sendiri tanpa agent travel, tanya sana-tanya sini. Karena baru pertama kali menginjakan kaki di Surabaya dan tidak banyak browsing internet sebelum ke Surabaya, yang ada di daftar hanyalah ke Masjid Ampel, House of Sampurna dan bisa ikut tour kotanya, dan terakhir menyeberang ke Pulau Madura. Semua berjalan lancar dengan bantuan orang-orang yang kami temui di jalan, mulai pejalan kaki, supir-supir angkot, sampai Pak Polisi, sampai-sampai disangka kami turis dari Malaysia. Dan satu yang selalu saya ikuti adalah nasihat seorang ibu di masjid Ampel, bahwa kami jangan bilang dari Jakarta, mungkin karena konotasi orang Jakarta pasti banyak uang dan nanti akan mengundang banyak orang untuk berbuat jahat, maka selama perjalanan sampai Madura, jika ada yang bertanya kami bilang dari Surabaya. Entah mereka percaya atau tidak, karena kok orang Surabaya tidak ada yang bisa bahasa Jawa. Kalau ditanya hanya ketawa-ketawa saja. Nekad
Di Surabaya, kami keliling hanya berdua, karena mau merasakan yang namanya backpacker seperti apa, merancang perjalanan sendiri tanpa agent travel, tanya sana-tanya sini. Karena baru pertama kali menginjakan kaki di Surabaya dan tidak banyak browsing internet sebelum ke Surabaya, yang ada di daftar hanyalah ke Masjid Ampel, House of Sampurna dan bisa ikut tour kotanya, dan terakhir menyeberang ke Pulau Madura. Semua berjalan lancar dengan bantuan orang-orang yang kami temui di jalan, mulai pejalan kaki, supir-supir angkot, sampai Pak Polisi, sampai-sampai disangka kami turis dari Malaysia. Dan satu yang selalu saya ikuti adalah nasihat seorang ibu di masjid Ampel, bahwa kami jangan bilang dari Jakarta, mungkin karena konotasi orang Jakarta pasti banyak uang dan nanti akan mengundang banyak orang untuk berbuat jahat, maka selama perjalanan sampai Madura, jika ada yang bertanya kami bilang dari Surabaya. Entah mereka percaya atau tidak, karena kok orang Surabaya tidak ada yang bisa bahasa Jawa. Kalau ditanya hanya ketawa-ketawa saja. Nekad
Akhirnya sampai juga kami di Jembatan Suramadu. Terima kasih
sekali pada pak Supir.
Sepeninggal Pak Supir, kami tingal berdua, meskipun bulan
sabit indah, tapi tidak menambah penerangan sama sekali. Tiba-tiba saya merasa
ingin sekali buang air kecil. Di belakang saya ada sebuah gubuk, tapi gelap
sekali. Di pikiran saya bukan lagi ada pocong, kuntilanak, genderuwo, bahkan
suster ngesot. Yang ada di pikiran hanyalah pemerkosa seperti yang dibilang
ibu-ibu tadi. Tidak henti-hentinya saya berdoa dari tadi.
gelapnya Suramadu, kamera cuma bisa menangkap ini |
Tiba-tiba ada motor yang melintas dan berhenti di depan
kami. Ketakutan pun menyerang sehingga
kami agak saling merapat. Untunglah setelah penumpang itu turun, kami meyakini
bahwa mereka bukan orang jahat melainkan sepasang suami istri yang akan kembali
ke Surabaya. Kembali mereka yang bertanya kemana tujuan kami dan kenapa cuma
berdua, perempuan lagi. Kami terus berbincang sampai akhirnya ibu itu pun
mengeluarkan makanan. Tidak niat meminta cuma bertanya buah apa yang dimakan,
namun ibiui itu bersikeras untk memberikan sekantong plastik buah yang bernama
Siwalan atau buah lontar. Jujur kami memang lapar, trakhir makan ya sarapan
tadi pagi di stasiun pasar turi.
Sampai akhirnya ibu dan bapak itu pergi kami pun ditinggal
sendiri. Lama bus tidak datang, yang lewat kebanyakan mobil pribadi ataupun
truk. “Apa kita numpang truk aja ya,” usulku, daripada ketakutan disini.
“Jangan, pesannya kita jangan menumpang apapun yang berplat
nomor hitam, bahaya.” kata teman mengingatkan pesan teman dari Surabaya yang
selalu memantau keberadaan kita.
Namun terlambat tangan saya sudah seperti memberhentikan
truk yang kebetulan lewat. Saya kira truk tersebut acuh namun nyatanya truk itu
berhenti kurang lebih lima meter di depan, dan penumpangnya pun memanggil kami.
Langsung saja kami pura-pura melihat ke arah lain, sampai truk itu pun pergi.
Akhirnya bus yang ditunggu pun datang, setelah meyakini
bahwa tujuannya adalah Surabaya, kami pun naik. Saya menyiapkan ongkos 3 ribu
rupiah sesuai petunjuk teman Surabaya, namun yang diminta adalah 30 ribu untuk
2 orang. Wow.
Selama perjalanan kami pun Nekad, ngotot- ngototan ongkos dengan kenek bis
sampai akhirnya spot yang paling bagus untuk mengambil foto di jembatan
Suramadu lewat di depan mata, dan kamera saya masih di dalam tas. Saya pun
mengela nafas panjang dan menahannya kembali sampai keindahan itu hilang begitu
saja di depan mata.
Harusnya kan malam ini kita santai sambil menikmati indahnya
jembatan Suramadu. Kami pun hanya bisa tertawa-tawa. Sampai akhirnya bus ini
berhenti di terminal bungur asih. Akhirnya kami tiba di Surabaya dengan
selamat.
Penasaran dengan tarif bus, saya bertanya pada seorang ibu berapa tarif yang beliau
bayarkan Jawabannya adalah 25 ribu, kembali kami berpandang-panfangan. Dalam
hati awas saja kalau ketemu dengan teman baru yang dari Surabaya itu. Gara-gara
info tarif bus 3 ribu kami adu otot dengan kenek bus dan tidak bisa menikmati indahnya Suramadu di waktu
malam, padahal kan itu tujuan kami nekad-nekad kemari
Entahlah ini romantis atau nekad, tapi terkadang sesuatunya datang tanpa diprediksi, kita harus berpijak dengan adat masyarakat setempat.
Entahlah ini romantis atau nekad, tapi terkadang sesuatunya datang tanpa diprediksi, kita harus berpijak dengan adat masyarakat setempat.
Dan saya hanya ingin berjalan, berjalan, dan mengambil hikmah dari setiap perjalanan untuk menjadikan diri lebih baik lagi.
air di Masjid Sunan Ampel yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit, lumayan irit beli air |
nyebrang dengan fery nyaman, hanya 15 menit, ongkos Rp 3.700,- |
disangka turis dari Malaysia
|
ketawa-tawa dengan ibu ini di Masjid Agung Bangkalan. Baru dikasih tahu kalau ibu ini agak gila
http://telkomsel.com/nekadtraveler http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=gOapKcqdcGM |
0 komentar:
Posting Komentar