Sudah lewat maghrib ketika kami sampai di desa Cibeo, tempat
bermukimnya penduduk dari suku Baduy dalam. Ini adalah perkampungan Baduy dalam
yang letaknya paling dekat dari Baduy luar. Paling dekat disini hitungannya
telah melewati 4 bukit 3 lembah sejauh 12 km, dan telah memakan 1 korban kaki
kram tapi masih bisa melanjutkan perjalanan, namun 1 orang lainnya terpaksa
turun lagi ke desa Cibolegar (desa paling luar), untung masih di awal
perjalanan dan kami mengikhlaskannya dengan berat hati.
Dari Baduy luar ke Baduy dalam kami memang harus berjalan
kaki. Permasalahannya bukan karena tidak ada ojek yang bisa mengantarkan,namun karena
dalam radius beberapa kilometer itu tidak boleh ada kendaraan beroda yang
lewat. Kini,tersisa 19 orang perempuan perkasa :) dan 2 orang pemandu jalan yang beberapa langkah lagi akan merasakan hidup
bersama suku Baduy dalam. Seluruh kamera kami masukan dan handphone pun
dimatikan, karena desa Baduy dalam terlarang untuk benda-benda seperti itu dan
kami pun mematuhinya.
Dag..dig…dug…dag..dig…dug
Duh perasaan saya
campur aduk karena akan segera bertemu dengan suku yang termasuk
primitive dengan segala larangan-larangannya. Rombongan dibagi 2 yang akan
bermalam di 2 rumah yang berbeda. Saya dan kesembilan teman perempuan yang satu
kelompok segera memasuki sebuah rumah yang ditunjuk, rumah paggung yang bahan
bangunannya terbuat dari kayu tanpa paku. Silahkan pikirkan bagaimana rumah ini
bisa berdiri tanpa paku.
Suasana temaram, karena hanya diterangi dengan lilin menyambut
kami memasuki rumah paggung , sangat membantu untuk menutupi muka-muka yang
kucel. Selain kami ternyata sudah ada rombongan lain di rumah itu.
“ Selamat datang teman-teman, sory rumahnya seperti ini.” Sambut seseorang. Kang Uci, guide kami pun
memperkenalkan bahwa dia adalah anak pemilik rumah ini yang tidak lain adalah
suku dari Baduy dalam.
Whaaaaaaaaaaaaaaat
Untungnya saya berteriak dalam hati jadi nggak bikin heboh. Itu suku Baduy dalamnya. Saya mereview lagi
ucapannya barusan ada kata-kata Sory,
sebuah kata dalam bahasa Inggris. Wow, ternyata kami tidak perlu penterjemah
untuk berkomunikasi dengan mereka, padahal sebelumnya kami membahas dengan
bahasa apa kami berkomunikasi, karena mereka berbicara dengan bahasa Sunda yang
sulit dimengerti. Dan sekarang jangankan bahasa Indonesia, mereka pun bisa
berbahasa asing.
Penjelasan kang Uci pun melepaskan rasa penasaran saya,
bahwa beberapa dari mereka sudah bisa berbahasa Indonesia.
“Pokoknya tanya aja apa yang mau ditanyakan. Ganteng kan?”
kata kang Uci lagi.
Dan saya pun jadi merhatikan sosok yang memakai baju putih
di depan saya. Iyah beneran ganteng. Dan saya nggak menyangka kalau dia adalah
suku Baduy dalam. Saya mulai mencari-cari pembandingnya. Wah kalau begini sih
boyband Smash juga lewat. Cari-cari lagi pembandingnya. Siwon Super Junior..
yup kayaknya ini yang tepat untuk menggambarkannya. Padahal saya juga nggak tau
Siwon Suju yang mana. Tapi pernyataan saya tidak dibantah oleh seorang teman.
Beneran mirip Siwon Suju. Hehehe. Aduh ternyata ada Super Junior di Baduy dalam.
Bersambung ahhhhh……………