Ini adalah satu artikel yang saya temukan di buku sejarah
SMP yang saya pinjam, merupakan catatan harian saat ditemukannya manusia purba
Pithecantropus yang ditulis oleh Jean, pura dari Eugene Dubois (penemu manusia
Pithecantropus) pada tahun 1891. Catatan tersebut dirangkum dalam sebuah buku
yang berjudul Pithecantropus yang diterbitkan tahun 1995 di Nederland. Dan saya membaca ini
seperti membaca novel yang mengasyikkan. Demikianlah bunyi sebagian kisahnya:
Nun jauh diatas birunya langit tropis, sekawanan Belibis
liar terbang melintasi sungai. Wongsosemito menengadah menatap mereka dan
bersandar pada paculnya sambil berujar, “Sebentar lagi kita akan segera pulang.
Hujan akan turun dan sungai akan meluap.” Sardi yang berasal dari desa yang
sama dan tengah bekerja di sampingnya menyeringai. “ Baiklah”, ujarnya. Dengan
menyeringai lebar, menampakkan giginya yang memerah oleh daun sirih, ia
menambahkan, “Ya air sungai akan menggenangi semua ini dan tidak akan ada lagi
yang dapat kita kerjakan.”
“Baiklah,” jawab Wongsosemito, sambil memacul pasir halus di
tepian sungai. Untuk beberapa saat paculnya masih naik turun berulang kali.
Tiba-tiba paculnya meyentuh sebuah batuan.
Biasanya disana memang banyak bebatuan, namun kali ini
Wongsosemito mengamati lebih jelas lagi benda berwarna gelap di dekat kakinya.
Sebelumnya ia telah sering menggali bebatuan dengan paculnya, namun yang satu
ini agak berbeda. Sardi juga berpikir demikian. Sambil bertopang pada pacul,
mereka mendiskusikan benda tersebut dengan sangat detil, seolah benda tersebut
sangat berarti. Akhirnya, keduanya berjongkok agar dapat lebih dekat lagi
mengamati batuan tersebut. Wongsosemito menyentuh batuan itu dengan jemarinya,
kemudian dengan hati-hati membersihkan sebagian tanah yang menyelimutinya.
Batuan itu menampakkan permukaan yang agak licin dan ini menjadi bahan baru
yang mereka diskusikan. Batu itu sangat berbeda dan lebih baik bagi mereka
untuk meminta sang mandor mengamatinya.
Lalu mereka memanggil Ahmad Saleh,sang mandor. Dan
ketiganya duduk berjongkok di seputar batuan yang Nampak aneh itu, dan
mendiskusikannya lebih lanjut.
Tahunnya? 1891. Tempatnya? Sebuah tepian sungai di Jawa.
Sekelompok pekerja Jawa Tengah menggali lapisan tanah yang keras pada tepian
sungai, hanya beberapa senti di atas permukaan aliran sungai Bengawan Solo,
yang pada saat musim panas seperti itu menjadi dangkal airnya. Tidak jauh dari
tempat tersebut, dua orang Belanda mengawasi mereka. Keduanya adalah sersan
Kriele dan Sersan De Winter dari kesatuan Teknik Koninklijk Nederlandsch Indies
Leger (KNIL) yang bertanggung jawab atas ekskavasi tersebut. Di bawah
pengawasan kedua orang Belanda itu, para pekerja paksa tersebut bekerja keras
dengan diam. Kulit tubuh mereka yang berwarna coklat, berkilau di bawah
teriknya matahari tropis. Pacul-pacul mereka naik turun berirama, menghantam
batuan sedimen yang lentur.
Ekskavasi dilakukan di dekat Fort Van de Bosch, sebuah
benteng militer di Ngawi, terletak di dekat sungai Bengawan Solo, yang
merupakan bagian dari garis pertahanan Belanda di sepanjang jalur pos utama
yang menghubungkan Jawa Barat dan Jawa Timur.
Terkadang salah seorang dari mereka melepaskan paculnya dan
memungut batuan atau tulang yang telah menjadi fosil. Dengan penuh rasa hormat,
sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa, mereka menyerahkan temuannya kepada
salah satu dari sersan tersebut, kemudian kembali pada pekerjaannya dengan
tenang, tanpa tergesa-gesa.
Tidak jauh dari tepian yang menurun pada ujung daerah
ekskavasi, berdiri seorang Belanda lainnya. Ia masih Nampak muda di awal usia
tiga puluhannya. Berperawakan agak kekar, wajahnya tampan dengan mata berwarna
biru dan mulut yang terkatup rapat, serta kumis dan janggut yang pendek. Dengan
kulit memerah yang mencirikan tipe orang lapangan. Sementara kedua sersan itu
menampakkan kecenderungan untuk beristirahat dan bersandar pada lereng sungai
tanpa memedulikan aturan militer. Orang Belanda yang satu ini bersikap bagaian
opsir yang tengah mengispeksi pasukannya di saat ia berjalan dari satu pekerja
ke pekerja lainnya. Tak dapat diraukan lagi, siapa komandan ekskavasi tersebut.
Pada saat yang sama, Ahmad Saleh berlari datang ke arah
mereka. Ia bukan anggota kelompok pekerja paksa, tidak seperti halnya para
pekerja lainnya. Ia berasal dari desa tetangga Ngawi. Oleh karena ia bisa
berbahasa Melayu (Bahasa yang dimengerti oleh orang Belanda), serta aktif dan
pintar, ia adalah mandor yang baik.
Ahmad Saleh berjongkok dalam tata cara Jawa dan berkata,”
Saya minta ampun, Tuan.” “Mau apa?” tanya Sersan Kriele.
Setelah terdiam sejenak, sebagaimana diharuskan adat jawa
untuk menghormati atasan, sang mandor menceritakan, bahwa salah satu anak
buahnya menemukan batuan yang Nampak aneh. “Itulah, sama kura-kura adanya.” ujar
Ahmad Saleh.
“Di mana tempatnya?” tanya Kriele. “Di situ Tuan,” jawab
sang mandor sambil bangkit dengan perlahan. Dan dengan hormat ia menunjukkan
tempatnya.
Orang Belanda itu segera mengetahui, bahwa benda tersebut
berbeda dengan fosil lainya yang telah mereka temukan sebelumnya pada formasi
batu pasir di tepian sungai. Selama melakukan ekskavasi yang telah berlangusng
beberapa minggu tersebut. “Batuan itu menyerupai kura-kura darat yang berukuran
sedang, seperti yang dikatakan Ahmad Saleh.
Untuk beberapa saat, sang Dokter mengamati benda itu dan
membuat catatan mengenai lokasi di mana benda itu ditemukan, melakukan
pengukuran-pengukuran serta mengambil contoh tanah yang menyelimutinya.
Kemudian,
dengan bantuan riele, ia memindahan fosil tersebut dengan hati-hati dari
perlapisan tanah tempatnya terpendam, yang telah berumur tua. Tidak ada
keraguan bahwa benda itu adalah fosil, sangat berat dan berwarna coklat gelap.
Dengan perlahan ia memutar fosil itu dalam tangannya, kemudian dengan sangat
hati-hati ia mencungkil beberapa kepingan batuan yang bergerak pada fosil
tersebut, dan bertanya dalam hati mengenai keanehan bentuk tangkup kura-kura
itu.
Banyak
sisa-sisa fosil dari reptil, terutama buaya yang ditemukan pada ekskavasi itu.
Namun ini merupakan fosil kura-kura pertama yang ditemukan. Bagian dalam tangkup
itu seluruhnya dipenuhi oleh matriks batuan yang menambah berat fosil tersebut.
Lama anak
muda itu menelitinya. Semakin lama ia amati, semakin banyak pertanyaan timbul
di benaknya. Jika fosil itu bukan kura-kura lantas apa? Kemungkinannya bisa
bermacam-macam, tempurung lutut gajah purba atau bagian kerangka dari binatang
yang belum diketahui jenisnya. Kemungkinan terdekatnya masih tetap tangkup
kura-kura, walaupun ada kelainannya.
Mula-mula
memang agak membingungkan dan dengan pengamatan yang lebih seksama lagi,
seorang intuitif, Dubois segera menyadari fosil ini adalah sesuatu yang
benar-benar berbeda.
Benda
coklat gelap dan agak berat yang berada dalam genggaman tangannya itu, sejak
dtemukan dari tepian sungai, akan segera menjadi bahan perdebatan paling besar,
setidaknya akan menjadi penemuan kontroversial pada masa awal studi mengenai
sejarah evolusi manusia.
Sejak
penemuan itu diumumkan untuk pertama kalinya pada tahun 1893 sebagai
Pithecantropus Erectus ‘Manusia Purba Jawa’, perjalanan panjang Dubois untuk
mencari ‘Mata Rantai yang Hilang’ antara manusia dan anthropoid telah memenuhi
fakta dan fiksi yang terus berlangsung hingga saat ini.