Hampir senja ketika kami tiba di desa Ngadisari, kec. Cemorolawang,
desa tertinggi kedua di Indonesia dengan
ketinggian 1800 di atas permukaan laut, Sedangkan desa tertinggi berada di Papua.
Saya menikmati senja ini, ketika kabut mulai terlihat dari
kaca jendela mobil. Mau teriak dan bilang kalau akhirnya saya bisa berada disini, desa tertinggi dan terakhir sebelum
saya menjejakan kaki di Gunung Bromo.
Pemandangan di hadapan saya adalah bukit-bukit dan hamparan
ladang yang tidak begitu hijau. Ya inilah pemandangan setelah Gunung Bromo
mengalami erupsi di awal tahun 2011, hampir
sebagian desa tertutup debu vulkanik.
Saya membiarkan kaca jendela mobil terbuka dan merasakan
terpaan udara desa yang mulai mendingin. Menghirup udara dalam-dalam
membiarkannya masuk ke dalam paru-paru, sambil membayangkan betapa indahnya
desa ini sebelum Bromo mengerupsi. Hijau dengan hamparan ladang-ladang kol yang
segar, hasil pertanian utama masyarakat disini. Juga membayangkan betapa
ganasnya erupsi sehingga membuat sesuatu yang hijau menjadi coklat.
Kami pun tiba di
penginapan dengan sambutan puji-pujian dan mantra yang terdengar dari sebuah
Pura. Intinya bukan untuk menyambut kami, tapi itu memang ritual yang biasa
penduduk Tenger yang beragama Hindu Mahayana kala senja tiba.
Oooo sama dong dengan shalawatan yang biasa terdengar di rumah saya sebelum maghrib tiba, karena sebelumnya kami mengira itu adalah
shalawatan dalam bahasa Bromo. Hehehehe.
2 komentar:
mengalir banget mba ceritanya, .... i like it
butuh masukkannya suhu sang Sang Penjejak, hehehe
Posting Komentar