Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email

Sepenggal Tulisan dari Buku ‘Pithecantropus’

Selasa, 24 September 2013


Ini adalah satu artikel yang saya temukan di buku sejarah SMP yang saya pinjam, merupakan catatan harian saat ditemukannya manusia purba Pithecantropus yang ditulis oleh Jean, pura dari Eugene Dubois (penemu manusia Pithecantropus) pada tahun 1891. Catatan tersebut dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul Pithecantropus yang diterbitkan tahun 1995 di Nederland. Dan saya membaca ini seperti membaca novel yang mengasyikkan. Demikianlah bunyi sebagian kisahnya:

Nun jauh diatas birunya langit tropis, sekawanan Belibis liar terbang melintasi sungai. Wongsosemito menengadah menatap mereka dan bersandar pada paculnya sambil berujar, “Sebentar lagi kita akan segera pulang. Hujan akan turun dan sungai akan meluap.” Sardi yang berasal dari desa yang sama dan tengah bekerja di sampingnya menyeringai. “ Baiklah”, ujarnya. Dengan menyeringai lebar, menampakkan giginya yang memerah oleh daun sirih, ia menambahkan, “Ya air sungai akan menggenangi semua ini dan tidak akan ada lagi yang dapat kita kerjakan.”

“Baiklah,” jawab Wongsosemito, sambil memacul pasir halus di tepian sungai. Untuk beberapa saat paculnya masih naik turun berulang kali.

Tiba-tiba paculnya meyentuh sebuah batuan.

Biasanya disana memang banyak bebatuan, namun kali ini Wongsosemito mengamati lebih jelas lagi benda berwarna gelap di dekat kakinya. Sebelumnya ia telah sering menggali bebatuan dengan paculnya, namun yang satu ini agak berbeda. Sardi juga berpikir demikian. Sambil bertopang pada pacul, mereka mendiskusikan benda tersebut dengan sangat detil, seolah benda tersebut sangat berarti. Akhirnya, keduanya berjongkok agar dapat lebih dekat lagi mengamati batuan tersebut. Wongsosemito menyentuh batuan itu dengan jemarinya, kemudian dengan hati-hati membersihkan sebagian tanah yang menyelimutinya. Batuan itu menampakkan permukaan yang agak licin dan ini menjadi bahan baru yang mereka diskusikan. Batu itu sangat berbeda dan lebih baik bagi mereka untuk meminta sang mandor mengamatinya.

Lalu mereka memanggil Ahmad Saleh,sang mandor. Dan ketiganya duduk berjongkok di seputar batuan yang Nampak aneh itu, dan mendiskusikannya lebih lanjut.

Tahunnya? 1891. Tempatnya? Sebuah tepian sungai di Jawa. Sekelompok pekerja Jawa Tengah menggali lapisan tanah yang keras pada tepian sungai, hanya beberapa senti di atas permukaan aliran sungai Bengawan Solo, yang pada saat musim panas seperti itu menjadi dangkal airnya. Tidak jauh dari tempat tersebut, dua orang Belanda mengawasi mereka. Keduanya adalah sersan Kriele dan Sersan De Winter dari kesatuan Teknik Koninklijk Nederlandsch Indies Leger (KNIL) yang bertanggung jawab atas ekskavasi tersebut. Di bawah pengawasan kedua orang Belanda itu, para pekerja paksa tersebut bekerja keras dengan diam. Kulit tubuh mereka yang berwarna coklat, berkilau di bawah teriknya matahari tropis. Pacul-pacul mereka naik turun berirama, menghantam batuan sedimen yang lentur.

Ekskavasi dilakukan di dekat Fort Van de Bosch, sebuah benteng militer di Ngawi, terletak di dekat sungai Bengawan Solo, yang merupakan bagian dari garis pertahanan Belanda di sepanjang jalur pos utama yang menghubungkan Jawa Barat dan Jawa Timur.

Terkadang salah seorang dari mereka melepaskan paculnya dan memungut batuan atau tulang yang telah menjadi fosil. Dengan penuh rasa hormat, sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa, mereka menyerahkan temuannya kepada salah satu dari sersan tersebut, kemudian kembali pada pekerjaannya dengan tenang, tanpa tergesa-gesa.

Tidak jauh dari tepian yang menurun pada ujung daerah ekskavasi, berdiri seorang Belanda lainnya. Ia masih Nampak muda di awal usia tiga puluhannya. Berperawakan agak kekar, wajahnya tampan dengan mata berwarna biru dan mulut yang terkatup rapat, serta kumis dan janggut yang pendek. Dengan kulit memerah yang mencirikan tipe orang lapangan. Sementara kedua sersan itu menampakkan kecenderungan untuk beristirahat dan bersandar pada lereng sungai tanpa memedulikan aturan militer. Orang Belanda yang satu ini bersikap bagaian opsir yang tengah mengispeksi pasukannya di saat ia berjalan dari satu pekerja ke pekerja lainnya. Tak dapat diraukan lagi, siapa komandan ekskavasi tersebut.

Pada saat yang sama, Ahmad Saleh berlari datang ke arah mereka. Ia bukan anggota kelompok pekerja paksa, tidak seperti halnya para pekerja lainnya. Ia berasal dari desa tetangga Ngawi. Oleh karena ia bisa berbahasa Melayu (Bahasa yang dimengerti oleh orang Belanda), serta aktif dan pintar, ia adalah mandor yang baik.

Ahmad Saleh berjongkok dalam tata cara Jawa dan berkata,” Saya minta ampun, Tuan.” “Mau apa?” tanya Sersan Kriele.

Setelah terdiam sejenak, sebagaimana diharuskan adat jawa untuk menghormati atasan, sang mandor menceritakan, bahwa salah satu anak buahnya menemukan batuan yang Nampak aneh. “Itulah, sama kura-kura adanya.” ujar Ahmad Saleh.

“Di mana tempatnya?” tanya Kriele. “Di situ Tuan,” jawab sang mandor sambil bangkit dengan perlahan. Dan dengan hormat ia menunjukkan tempatnya.

Orang Belanda itu segera mengetahui, bahwa benda tersebut berbeda dengan fosil lainya yang telah mereka temukan sebelumnya pada formasi batu pasir di tepian sungai. Selama melakukan ekskavasi yang telah berlangusng beberapa minggu tersebut. “Batuan itu menyerupai kura-kura darat yang berukuran sedang, seperti yang dikatakan Ahmad Saleh.
Untuk beberapa saat, sang Dokter mengamati benda itu dan membuat catatan mengenai lokasi di mana benda itu ditemukan, melakukan pengukuran-pengukuran serta mengambil contoh tanah yang menyelimutinya.

Kemudian, dengan bantuan riele, ia memindahan fosil tersebut dengan hati-hati dari perlapisan tanah tempatnya terpendam, yang telah berumur tua. Tidak ada keraguan bahwa benda itu adalah fosil, sangat berat dan berwarna coklat gelap. Dengan perlahan ia memutar fosil itu dalam tangannya, kemudian dengan sangat hati-hati ia mencungkil beberapa kepingan batuan yang bergerak pada fosil tersebut, dan bertanya dalam hati mengenai keanehan bentuk tangkup kura-kura itu.

Banyak sisa-sisa fosil dari reptil, terutama buaya yang ditemukan pada ekskavasi itu. Namun ini merupakan fosil kura-kura pertama yang ditemukan. Bagian dalam tangkup itu seluruhnya dipenuhi oleh matriks batuan yang menambah berat fosil tersebut.

Lama anak muda itu menelitinya. Semakin lama ia amati, semakin banyak pertanyaan timbul di benaknya. Jika fosil itu bukan kura-kura lantas apa? Kemungkinannya bisa bermacam-macam, tempurung lutut gajah purba atau bagian kerangka dari binatang yang belum diketahui jenisnya. Kemungkinan terdekatnya masih tetap tangkup kura-kura, walaupun ada kelainannya.

Mula-mula memang agak membingungkan dan dengan pengamatan yang lebih seksama lagi, seorang intuitif, Dubois segera menyadari fosil ini adalah sesuatu yang benar-benar berbeda.

Benda coklat gelap dan agak berat yang berada dalam genggaman tangannya itu, sejak dtemukan dari tepian sungai, akan segera menjadi bahan perdebatan paling besar, setidaknya akan menjadi penemuan kontroversial pada masa awal studi mengenai sejarah evolusi manusia.

Sejak penemuan itu diumumkan untuk pertama kalinya pada tahun 1893 sebagai Pithecantropus Erectus ‘Manusia Purba Jawa’, perjalanan panjang Dubois untuk mencari ‘Mata Rantai yang Hilang’ antara manusia dan anthropoid telah memenuhi fakta dan fiksi yang terus berlangsung hingga saat ini.



0 komentar:

 
Copyright © -2012 Alamat Senja All Rights Reserved | Template Design by Favorite Blogger Templates | Blogger Tips and Tricks