Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email

Pekan Batik Internasional di Indonesia

Kamis, 26 September 2013 | 0 komentar



Dalam rangka untuk memperingati hari batik yang jatuh pada bulan Oktober, maka akan diselenggarakan pekan batik Internasional yang berlangsung dari tanggal 2-6 Oktober 2013. Yang menjadi tuan rumah adalah kota batik yaitu kota Pekalongan. 

15 negara, sebagian besar diantaranya adalah negara ASEAN turut meramaikan acara tersebut yang bertema “Batik Mencipta Citra Budaya dan Ekonomi Bangsa".Acara yang berlangsung selama 4 hari itu berpusat kawasan Budaya Jetayu, Pekalongan meliputi:

1. Pameran Batik Internasional 2013
2. International Trans Culture Of Batik & Theatrikal Batik Pekalongan
3. International Batik Conference
4. Gala Dinner & Fashion Show Batiks On The River
5. Pesona Kmapoeng Batik
6. Pekalongan Batik Carnaval
7. Lomba Karya Jurnalistik Batik Nasional
8. Lomba Design Motif Batik Pekalongan
9. Lomba Film Dokumenter Batik Pekalongan
10. Pekalongan Batik Award

Selain itu ada juga festival kuliner dan festival batik lampion. Pastikan teman-teman untuk bisa mengagendakan acara yang sangat meriah tersebut.

Rute menuju Kawasan Budaya Jetayu (di kawasan ini terdapat Museum Batik Nasional)

1. Dari alun-alun Pekalongan naik becak (Rp 7ribu)


Warna-Warni Lolipop Batik Garut

Selasa, 24 September 2013 | 0 komentar

Ada yang tidak boleh dilewatkan ketika traveling ke kota Garut, yatu mampir ke tempat batik. Batik tidak hanya didominasi oleh daerah-daerah di Jawa Tengah, tapi Jawa Barat termasuk Garut juga memiliki ragam batik dengan ciri khasnya tersendiri.

Ya, sangat berbeda dengan batik Jawa Tengah seperti Yogya dan Solo, Batik Garut memiliki warna-warna terang yang mencolok, tidak ragu untuk menggunakan warna-warna cerah seperti ungu dan merah jambu, seperti ketika saya mendatangi workshop batik Garut yang terletak di pusat kota.

Tidak sulit menjangkau tempat ini, dari terminal bus garut bisa menggunakan angkot atau delman. Ya delman masih menjadi angkutan transportasi masal di Garut. Jadi tidak ada salahnya jika berkeliling Garut menggunakan Delman.

Mbak Susan serta pemilik batik Rasya menyambut saya dan seorang teman dengan ramah. Selain kita bisa melihat batik-batik yang sudah jadi, kami pun diajak berkeliling melihat proses pembuatan batik, ada batik tulis dan batik cap.

Keberadaan batik Garut tidak lepas dari pengaruh kerajaan Pajajaran, sehingga terlihat di beberapa motif batik yang menggambarkan situasi kerajaan Pajajaran. Batiknya seperti bercerita karena gambar keadaan kerajaan Pajajaran ada di sehelai batik.

Ketika saya menanyakn motif klasik dari Batik Garut, saya pun diperlihatkan motif 'Pecah kopi', agak mirip dengan motif kawung dari Yogya dan warnanya pun coklat. Ini menandakan kalau Garut pun mendapat pengaruh batik dari Yogya. Selain itu saya diperlihatkan motif 'Merak Ngibing'. Namanya lucu dan merepresentasikan judul itu sendiri yaitu sepasang merak yang sedang menari. Biasanya batik motif ini digunakan pada saat-saat kegembiraan, seperti pernikahan.

Untuk membuat motif Merak Ngibing memerlukan waktu yang tidak sebentar. Dua minggu hanya untuk mencanting dan memberikan malam, belum proses rorotan, dan menutup lagi gambar dengan malam untuk pewarnaan selanjutnya. Jadi wajar kalau batik ini dihargai satu juta rupiah.

motif 'Merak Ngibing'


Nah kalau untuk batik cap, 1 hari saja bisa selesai. Proses pencap-an, setengah jam bahkan 10 menit pun selesai untuk 1 warna kemudian bisa dilanjutkan dengan proses selanjutnya.


motif 'Adu Domba' mereprentasikan seni daerah Garut

Motif 'Kereta Kencana' merepresentasikan kerajaan Pajajaran

motif 'Kupu-kupu'

Motif 'Kipas'


Motif lereng sama dengan Batik Jawa Tengah tapi dibuat dengan pewarnaan khas batik garut yang memiliki warna-warni Lolipop

Sepenggal Tulisan dari Buku ‘Pithecantropus’


Ini adalah satu artikel yang saya temukan di buku sejarah SMP yang saya pinjam, merupakan catatan harian saat ditemukannya manusia purba Pithecantropus yang ditulis oleh Jean, pura dari Eugene Dubois (penemu manusia Pithecantropus) pada tahun 1891. Catatan tersebut dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul Pithecantropus yang diterbitkan tahun 1995 di Nederland. Dan saya membaca ini seperti membaca novel yang mengasyikkan. Demikianlah bunyi sebagian kisahnya:

Nun jauh diatas birunya langit tropis, sekawanan Belibis liar terbang melintasi sungai. Wongsosemito menengadah menatap mereka dan bersandar pada paculnya sambil berujar, “Sebentar lagi kita akan segera pulang. Hujan akan turun dan sungai akan meluap.” Sardi yang berasal dari desa yang sama dan tengah bekerja di sampingnya menyeringai. “ Baiklah”, ujarnya. Dengan menyeringai lebar, menampakkan giginya yang memerah oleh daun sirih, ia menambahkan, “Ya air sungai akan menggenangi semua ini dan tidak akan ada lagi yang dapat kita kerjakan.”

“Baiklah,” jawab Wongsosemito, sambil memacul pasir halus di tepian sungai. Untuk beberapa saat paculnya masih naik turun berulang kali.

Tiba-tiba paculnya meyentuh sebuah batuan.

Biasanya disana memang banyak bebatuan, namun kali ini Wongsosemito mengamati lebih jelas lagi benda berwarna gelap di dekat kakinya. Sebelumnya ia telah sering menggali bebatuan dengan paculnya, namun yang satu ini agak berbeda. Sardi juga berpikir demikian. Sambil bertopang pada pacul, mereka mendiskusikan benda tersebut dengan sangat detil, seolah benda tersebut sangat berarti. Akhirnya, keduanya berjongkok agar dapat lebih dekat lagi mengamati batuan tersebut. Wongsosemito menyentuh batuan itu dengan jemarinya, kemudian dengan hati-hati membersihkan sebagian tanah yang menyelimutinya. Batuan itu menampakkan permukaan yang agak licin dan ini menjadi bahan baru yang mereka diskusikan. Batu itu sangat berbeda dan lebih baik bagi mereka untuk meminta sang mandor mengamatinya.

Lalu mereka memanggil Ahmad Saleh,sang mandor. Dan ketiganya duduk berjongkok di seputar batuan yang Nampak aneh itu, dan mendiskusikannya lebih lanjut.

Tahunnya? 1891. Tempatnya? Sebuah tepian sungai di Jawa. Sekelompok pekerja Jawa Tengah menggali lapisan tanah yang keras pada tepian sungai, hanya beberapa senti di atas permukaan aliran sungai Bengawan Solo, yang pada saat musim panas seperti itu menjadi dangkal airnya. Tidak jauh dari tempat tersebut, dua orang Belanda mengawasi mereka. Keduanya adalah sersan Kriele dan Sersan De Winter dari kesatuan Teknik Koninklijk Nederlandsch Indies Leger (KNIL) yang bertanggung jawab atas ekskavasi tersebut. Di bawah pengawasan kedua orang Belanda itu, para pekerja paksa tersebut bekerja keras dengan diam. Kulit tubuh mereka yang berwarna coklat, berkilau di bawah teriknya matahari tropis. Pacul-pacul mereka naik turun berirama, menghantam batuan sedimen yang lentur.

Ekskavasi dilakukan di dekat Fort Van de Bosch, sebuah benteng militer di Ngawi, terletak di dekat sungai Bengawan Solo, yang merupakan bagian dari garis pertahanan Belanda di sepanjang jalur pos utama yang menghubungkan Jawa Barat dan Jawa Timur.

Terkadang salah seorang dari mereka melepaskan paculnya dan memungut batuan atau tulang yang telah menjadi fosil. Dengan penuh rasa hormat, sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa, mereka menyerahkan temuannya kepada salah satu dari sersan tersebut, kemudian kembali pada pekerjaannya dengan tenang, tanpa tergesa-gesa.

Tidak jauh dari tepian yang menurun pada ujung daerah ekskavasi, berdiri seorang Belanda lainnya. Ia masih Nampak muda di awal usia tiga puluhannya. Berperawakan agak kekar, wajahnya tampan dengan mata berwarna biru dan mulut yang terkatup rapat, serta kumis dan janggut yang pendek. Dengan kulit memerah yang mencirikan tipe orang lapangan. Sementara kedua sersan itu menampakkan kecenderungan untuk beristirahat dan bersandar pada lereng sungai tanpa memedulikan aturan militer. Orang Belanda yang satu ini bersikap bagaian opsir yang tengah mengispeksi pasukannya di saat ia berjalan dari satu pekerja ke pekerja lainnya. Tak dapat diraukan lagi, siapa komandan ekskavasi tersebut.

Pada saat yang sama, Ahmad Saleh berlari datang ke arah mereka. Ia bukan anggota kelompok pekerja paksa, tidak seperti halnya para pekerja lainnya. Ia berasal dari desa tetangga Ngawi. Oleh karena ia bisa berbahasa Melayu (Bahasa yang dimengerti oleh orang Belanda), serta aktif dan pintar, ia adalah mandor yang baik.

Ahmad Saleh berjongkok dalam tata cara Jawa dan berkata,” Saya minta ampun, Tuan.” “Mau apa?” tanya Sersan Kriele.

Setelah terdiam sejenak, sebagaimana diharuskan adat jawa untuk menghormati atasan, sang mandor menceritakan, bahwa salah satu anak buahnya menemukan batuan yang Nampak aneh. “Itulah, sama kura-kura adanya.” ujar Ahmad Saleh.

“Di mana tempatnya?” tanya Kriele. “Di situ Tuan,” jawab sang mandor sambil bangkit dengan perlahan. Dan dengan hormat ia menunjukkan tempatnya.

Orang Belanda itu segera mengetahui, bahwa benda tersebut berbeda dengan fosil lainya yang telah mereka temukan sebelumnya pada formasi batu pasir di tepian sungai. Selama melakukan ekskavasi yang telah berlangusng beberapa minggu tersebut. “Batuan itu menyerupai kura-kura darat yang berukuran sedang, seperti yang dikatakan Ahmad Saleh.
Untuk beberapa saat, sang Dokter mengamati benda itu dan membuat catatan mengenai lokasi di mana benda itu ditemukan, melakukan pengukuran-pengukuran serta mengambil contoh tanah yang menyelimutinya.

Kemudian, dengan bantuan riele, ia memindahan fosil tersebut dengan hati-hati dari perlapisan tanah tempatnya terpendam, yang telah berumur tua. Tidak ada keraguan bahwa benda itu adalah fosil, sangat berat dan berwarna coklat gelap. Dengan perlahan ia memutar fosil itu dalam tangannya, kemudian dengan sangat hati-hati ia mencungkil beberapa kepingan batuan yang bergerak pada fosil tersebut, dan bertanya dalam hati mengenai keanehan bentuk tangkup kura-kura itu.

Banyak sisa-sisa fosil dari reptil, terutama buaya yang ditemukan pada ekskavasi itu. Namun ini merupakan fosil kura-kura pertama yang ditemukan. Bagian dalam tangkup itu seluruhnya dipenuhi oleh matriks batuan yang menambah berat fosil tersebut.

Lama anak muda itu menelitinya. Semakin lama ia amati, semakin banyak pertanyaan timbul di benaknya. Jika fosil itu bukan kura-kura lantas apa? Kemungkinannya bisa bermacam-macam, tempurung lutut gajah purba atau bagian kerangka dari binatang yang belum diketahui jenisnya. Kemungkinan terdekatnya masih tetap tangkup kura-kura, walaupun ada kelainannya.

Mula-mula memang agak membingungkan dan dengan pengamatan yang lebih seksama lagi, seorang intuitif, Dubois segera menyadari fosil ini adalah sesuatu yang benar-benar berbeda.

Benda coklat gelap dan agak berat yang berada dalam genggaman tangannya itu, sejak dtemukan dari tepian sungai, akan segera menjadi bahan perdebatan paling besar, setidaknya akan menjadi penemuan kontroversial pada masa awal studi mengenai sejarah evolusi manusia.

Sejak penemuan itu diumumkan untuk pertama kalinya pada tahun 1893 sebagai Pithecantropus Erectus ‘Manusia Purba Jawa’, perjalanan panjang Dubois untuk mencari ‘Mata Rantai yang Hilang’ antara manusia dan anthropoid telah memenuhi fakta dan fiksi yang terus berlangsung hingga saat ini.



Pelajaran dari Zaman Megalithikum di Indonesia


Tujuan trip saya selanjutnya adalah Gunung Kidul, sebuah kabupaten di D.I. Yogyakarta. Saya sudah pernah kesana sebelumnya dan komentar saya saat itu adalah Bali ada di tempat itu, karena Gunung Kidul memiliki pantai yang indah seperti di Bali.

Dan yang menarik saya untuk ke Gunung Kidul kembali adalah adanya situs manusia purba disana, yang terkenal dengan nama Situs Megalithikum Sokoliman. Takut tidak ada juru kunci yang menjelaskan apa yang ada disana sehingga saya hanya menemukan batu-batu yang tidak berarti, maka saya mencari-cari info tentang kehidupan manusia purba, dan saya mendapatkannya dari buku kelas 7 SMP. Jadi saya pinjam saja buku itu dari Delvin yang sekolah di SMP Al-Azhar Rawamangun. Meskipun heran, dipinjami juga saya buku yang menurutnya tidak menarik. Saya juga menganggap buku sejarah tida menarik waktu seusia Delvin, tapi sekarang buku sejarah adalah gudang informasi dari setiap tempat bersejarah yang saya datangi di Indonesia.

“Zaman Megalithikum atau zaman batu besar, ditandai dengan adanya kepandaian membuat perkakas-perkakas yang terbuat dari batu besar atau batu utuh.” Demikianlah sepenggal tulisan yang ada di buku Sejarah dari penerbit Yudhistira.

Para ahli membagi zaman prasejarah menjadi 5 zaman, yaitu: zaman Paleolitikum (batu tua), Mesolitikum (batu tengah), Neolithikum (batu baru), Megalithikum (batu besar), zaman logam (perunggu dan besi). Perbedaan dari setiap zaman adalah bentuk perkakas yang dihasilkan dari mulai yang masih kasar kemudian sudah halus dan terakhir sudah mampu membuat benda dari logam.

Jadi zaman Megalithikum adalah zaman praaksara di Indonesia yang diperkirakan terjadi 1,9 juta tahun yang lalu, muncul pada masa bercocok tanam dan beternak, sehingga perkakas yang dihasilkan juga lebih halus untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut, seperti:
1. Kapak perimbas adalah sejenis kapak batu yang digenggam dan tidak bertangkai
2. kapak persegi adalah kapak yang berbentuk persegi
3. Kapak lonjong adalah kapak yang berbentuk lonjong
4. Alat serpih adalah perkakas yang dapat digunaan sebagai alat penusuk, gurdi, dan pisau.

Selain perkakas, ada juga peralatan yang dibuat sebagai sarana untuk mendukung kepercayaan mereka yang saat itu masih Animisme dan Dinamisme, benda-benda tersebut adalah:
1. Menhir, adalah tugu batu yang diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati dan tempat memuja roh nenek moyang. Menhir ditemukan antara lain di Dataran Tinggi Pasemah (Sumatra Selatan), Kosala, Lebakbedung (Banten), dan Lembah Leles (Garut).

Menhir

2. Dolmen, bangunan semacam meja dari batu yang berkaki batu utuh dan digunakan untuk pemujaan roh dan tempat sesajian. Daerah tempat ditemukannya dolmen antara lain, Batu Cawang, Tegurwangi, dan Pagerdewa (di Sumatra Selatan).
3. Sarkofagus, adalah tempat jenazah yang terbuat dari dua batu besar dan ditangkupkan. Bali dan Sumbawa Barat merupakan tempat ditemukannya sarkofagus.
4. Peti kubur batu adalah peti mayat yang dibentuk dari empat atau lebih papan batu. Peti kubur batu antara lain ditemukan di Tegurwangi (Sumatra Selatan), Cibuntu (Jawa Barat), dan Gunung Kidul (Jawa Tengah).
5. Waruga, adalah peti kubur batu dalam ukuran yang kecil. Banyak ditemukan di Minahasa.
6. Punden Berundak, adalah bangunan berupa susunan batu yang berundag-undag yang biasanya terdiri dari tujuh undak, yang digunakan untuk kegiatan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Bangunan ini, antara lain ditemukan di Cisolok (Skabumi), dan Ende (Nusa Tenggara Timur).
7. Arca batu, adalah patung yang terbuat dari batu yang dipahat menyerupai bentuk manusia dan binatang. Arca-arca Megalitikum banyak ditemukan di Sumatra Selatan, yang menggambarkan manusia, gajak, harimau, babi, rusa, dan kera.

Lumayan info yang saya dapat dan selanjutnya tinggal melihatnya langsung di Gunung Kidul :)


ngeblog pakai smartfren

Jumat, 20 September 2013 | 0 komentar

Tes...tes
Nyoba ngeblog pakai smartfren andromax nih
Untuk buka blogspot sih lumayan cepet
Cihuy juga nih produk


 
Copyright © -2012 Alamat Senja All Rights Reserved | Template Design by Favorite Blogger Templates | Blogger Tips and Tricks